"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Agustus 2013

SETELAH LEBARAN, APA…???

Bulan ramadhan adalah bulan suci ummat islam, bulan melaksanakan ibadah puasa, bulan melaksanakan amalan-amalan yang pahalanya berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya, dan tidak ada ummat islam yang melewatkan bahkan dengan suka cita, berpuasa di siang hari dan ketika malam hari berbondong-bondong ke mesjid, langgar dan mushala untuk melaksanakan shalat tarawih, witir dan ibadah lainnya, singkat kata bulan ramadhan merupakan bulan penyucian diri untuk menggapai ketaqwaan paripurna, dan simbolisme kemenangan dirayakan dengan berlebaran, saling berkunjung, bersilaturrahmi, dan saling bermaaf-maafan, karena sebagai manusia, kita tak sempurna, tak luput dari kesalahan, khilaf dan permohonan maaf dengan ikhlas adalah jembatan untuk menggapai kefitrian sesama manusia.
Pertanyaan besarnya adalah : setelah Ramadhan dan lebaran, selanjutnya apa? Pertanyaan ini perlu mendapat renungan bersama, apakah jawabannya : kembali ke “habit” sebelum ramadhan, atau ke pribadi baru yang kokoh dengan nuansa ramadhan yang telah menempanya?jawabannya ada di masing-masing pribadi kita.
Kalau jawabannya kembali ke “habit” semula, ramadhan dan ritualnya tidak lebih sekedar rutinitas tanpa makna, sebatas menggugurkan kewajiban sebagai ummat islam, dan bekasnya tidak masuk ke dalam jiwa, bahkan ia tak mampu membimbing ruh untuk kea rah perubahan. Tetapi kalau jawabannya ramadhan melahirkan pribadi baru yang penuh kebaikan, berbagi, peduli, takut pada hukum Allah, dan pengakuan ada kehidupan setelah kematian serta ada tujuan yang kekal, yang kemudian melahirkan kesadaran dari hati, diucapkan dengan lisan, dilaksanakan oleh raga dan dimplementasikan oleh perbuatan, maka ramadhan menjadi media teologisme untuk mencapai ketauhidan yang hakiki, karena setelah lebaran, seluruh pikiran dan aktivitasnya senantiasa diwarnai oleh kebaikan dan untuk kebaikan.
Implementasinya sebagai seorang birokrat maka semua aktivitas kerja yang dilakukan merupakan pengabdian terbaik bagi masyarakat dan daerah, sehingga semua pikiran dan aktivitasnya senantiasa berproduksi untuk kemaslahatan ummat, menggapai kesejahteraan bersama. Bagaimana itu dilakukan? Semuanya dalam satu filosofi ketauhidan “karena  Allah SWT”. Marilah kita renungkan, kalau pengakuan ketauhidan kita menuntun kita takut pada hukum Allah maka semua aktivitas kita insyaallah berjalan lurus, bersih dan baik. Apakah mengambil yang bukan haknya dibenarkan? Apakah bertindak zalim dibenarkan? Apakah berbuat curang dibenarkan? Apakah melakukan maksiat dibenarkan? Apakah korupsi, kolusi dan nepotisme halal dan dibenarkan? Jawabannya tentu melanggar hukum Allah SWT. Karenanya, dengan berkah ramadhan marilah kita fitrikan hati, karena dengan hati yang bersih dan suci, semua aktivitas kebaikan kita dimudahkan, jalan lempang dibukakan, dan karunia serta kesejahteraan dicurahkan, semua itu untuk pengabdian terbaik bagi masyarakat dan daerah Hulu Sungai Selatan yang kita cintai, amien.

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: " kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa”, (QS. An-Nahl, 16: 30)

Senin, 15 Juli 2013

JANGAN ZALIM!

Saya pernah mendapati seorang birokrat mengatakan (kurang lebih) “apapun yang kamu lakukan, akulah yang menentukan,” birokrat itu mengatakan bahkan sambil membusungkan dada, yang bersangkutan telah melakukan “Power tends to corrupct”,, entahlah…yang jelas saya ketahui yang bersangkutan orang terpelajar (karena memiliki pendidikan tinggi), religius (karena mentaati perintah agama, shalat, mengaji, puasa, dan sebagainya, bahkan kadang-kadang berubah menjadi pemuka agama), saya akui posisinya saat itu, dia berada di atas saya, dan mungkin karena ingin menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki otoritas terhadap diri dan pikiran saya…sayangnya yang bersangkutan lupa, bahwa ada Dia Yang Maha, diatas segalanya, pemilik otoritas diri, pikiran, jiwa bahkan nyawa kita, saya hanya berharap yang bersangkutan disadarkan, semoga.
Mungkin pengalaman tersebut pernah anda lakukan atau anda alami, karena posisi yang berbeda, kadang kita merasa diatas segalanya, dan mengabaikan dan tidak menganggap kehadiran orang lain menjadi bagian dari “kekitaan” sebagai manusia yang ditakdirkan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, pembeda sejati hanyalah “taqwa”.. sesama birokrat, di semua level tingkatan hirarki, terhadap masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas, bahkan terhadap binatang dan alam sekitar sekalipun. Karena kita semua akan diminta pertanggungjawaban dihadapan-Nya,
Kalau anda merasa berkuasa dan zalim terhadap orang lain, segeralah tinggalkan, karena kita makhluk sosial, yang hidup memerlukan bantuan orang lain, makanya perlu kerjasama dan kebersamaan, sehingga tercapai tujuan bersama, berbangsa dan bernegara.
Hirarki diciptakan untuk mewujudkan keteraturan, bukan untuk berbuat zalim. Hirarki diciptakan untuk memberi ruang “siapa bertanggungjawab apa” sehingga akan lahir optimalisasi dan efesiensi sumber daya untuk efektivitas tujuan organisasi berpemerintah daerah.
Bukan saatnya lagi menciptakan “ketakutan” dan “tunjuk tangan” dalam berpemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, birokrat bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani “melayani dengan hati”. Pelayanan yang lahir dari hati, pada akhirnya menumbuhkan kebersamaan, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab bersama, yang kemudian melahirkan partisipasi berkesadaran, karena kita semua adalah bagian “kekitaan” bernama Hulu Sungai Selatan.
Dan kini memasuki pertengahan tahun 2013 hingga tahun 2018,  diera kepemimpinan baru, esensi “SEHATI” memberi penegasan utama bentuk kepemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang akan dibangun. Beberapa analisis singkat memaknai sehati dalam tataran aplikasi dapat diurai sebagai berikut :
1.    Aspek bahasa, sehati memberi makna :   bersatu hati, seia sekata, yang menggambarkan keselarasan perilaku antara niat, pikiran, sikap dan perbuatan dalam hubungan antar manusia yang harmonis yang ditandai kejujuran, loyalitas, kesabaran dan kebersamaan.
2.    Aspek filosofis bersifat religius, sehati merujuk pada hati manusia, “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbutan manusia dan apabila hati itu rusak maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah,ia adalah hati”. (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Nu’man IbnBasyir ra)
3.    Aspek Akronim SEHATI : sejahtera, religius dan produktif, memberi penegasan tujuan ber-Hulu Sungai Selatan selama 2013-2018;
4.    Aspek kepemerintahan dibangun atas dasar harmonisasi, kejujuran, kebersamaan, komunikasi dan kesetaraan;
5.    Pembangunan sektor ekonomi berkontribusi pada aspek sosial sehingga pembangunan infrastruktur, pertanian, pendidikan, kesehatan dan bidang sosial lainnya diorientasikan bagi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan;
6.    Kehidupan kemasyarakatan diarahkan untuk terwujudnya sikap religiusitas public secara kondusif dan harmonis;
7.    Penumbuhan sikap produktif, jiwa wirausaha, bersaing secara sehat dengan mengedepankan keunggulan kompetitif dan komparatif, baik internal maupun eksternal;
8.    Capacity building birokrasi HSS : hirarki, loyality, legality dan professional;
Berbagai analisa tersebut dapat dirangkum dalam satu kata “MEMBANGUN HSS DENGAN HATI”, karena dengan hati maka, ketidakadilan, kezaliman, keburukan, ketimpangan, penindasan, marginalisasi, apriori, sinisme, otoritarianism, korup, dan pelanggaran hukum lainnya dieliminir bahkan diberangus dan tidak dibiarkan tumbuh, baik dihati birokrat maupun masyarakat, kondisi ini pada akhirnya melahirkan HSS yang damai dan sejahtera.
Jadi mulai sekarang marilah kita tetapkan hati, berubah untuk kebaikan, memberi yang terbaik bagi daerah dan masyarakat HSS, “mengabdilah dengan hati” dan kekuasaan yang dijalankan dengan hati dipastikan membawa kebaikan, kedamaian, keberkahan dan kesejahteraan, dan kita akan menjadi manusia yang didambakan kehadirannya, ditangisi kepergiannya, dan dirindukan setiap saat dan untuk mengenangnya pujian dan doa selalu tercurah kepada yang bersangkutan.

“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (Q.S Az-Zalzalah 7-8)

Oleh: Rakhmani, S.Sos,. M.Si

Selasa, 11 Juni 2013

TERIMA KASIH !!???....

sumber gambar : www.republika.co.id
Budaya mengucapkan terima kasih atas bantuan orang lain adalah keniscayaan, karena kita adalah makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat,  karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu bekerjasama bahkan perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita masing-masing. Namun kalau dulu ucapan terima kasih diucapkan sebagai bentuk keihklasan dan bernilai religius, dimana hanya Sang Maha yang akan membalasnya, di era kekinian, ucapan terima kasih telah bergeser, bermotif ekonomi,  hal ini terjadi kentara di level birokrasi pemerintahan, bagaimana sebuah layanan, fasilitasi dan bantuan yang diberikan birokrat dibalas “bahkan kadang bersifat wajib” bagi masyarakat (kalangan pengusaha maupun masyarakat umum lainnya), bahkan antar birokrat sendiri kadang terjadi saling “berterima kasih” dengan embel-embel sejumlah uang, yang walaupun tidak besar, tetap saja, tidak dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah setiap pengusaha mau mencairkan kegiatan proyek  pengadaan barang/jasa yang telah selesai dilaksanakan (menyogok oknum instansi tertentu agar dipercepat proses pencairan tersebut atau bila urusan cepat diselesaikan kemudian pengusaha tersebut memberikan amplop berisi “duit” sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau pernahkah kita ketika berurusan dengan oknum tertentu, khususnya untuk pencairan sesuatu, mengurus KTP, kartu keluarga, perijinan lainnya, kemudian menyerahkan uang ucapan terima kasih, selain biaya resmi, karena “merasa dibantu, merasa tidak enak, merasa kada nyaman, takutan bila kada mambari, kaina dipersulit bila mengurus kembali”, maka selayaknya kita semua mereposisi ulang makna “pakta integritas, zona bebas korupsi dan tunjangan kehormatan yang sudah kita terima,” tidak saja kita sebagai pejabat di top manajemen,  maupun pelaku pelayanan, karena melakukan pembiaran semua itu terjadi atau bahkan ikut  terlibat melakukan, apakah perlu kita menyalahkan dan selalu menyebut “ah itu kan ulah oknum”, tidak bijak rasanya, kita bersandar pada kata itu, pernahkah kita menyelami permasalahan tersebut sampai ke akarnya, penyebabnya, latar belakangnya, atau kita semua jangan-jangan memiliki andil menciptakan berlangsungnya budaya tersebut secara turun-temurun, karena system yang dibuat, tidak memungkinkan kita melakukan perubahan, bahkan orang yang mau dan bermotivasi untuk melakukan perubahan dianggap “orang gila” karena “melawan arus”, bahkan kemudian “kada dikawani”, dijauhkan dan akhirnya terasing, karena birokrasi sudah disusupi pemikiran, sikap dan perilaku menjadikan uang Negara, uang orang lain, uang teman , sebahagiaannya merasa “ampunku”, karenanya siapapun orangnya “wajib berterima kasih” dengan imbalan tertentu.
Meminjam istilah Karx marx, terjadi penghisapan antara kelas dilayani oleh yang melayani, itu semua karena godaan hidup materialis dan hedonis, keduniaan yang niscaya, hanya ajal saja yang mampu menghentikannya, sadarkah kita???  Kita perlu merenung ulang dan memahami secara penuh kesadaran dan bertanya kembali apa itu gratifikasi, bercermin pada  UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi diartikan Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (penjelasan Pasal 12B), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,( Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001) padahal didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, b) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, selain itu berdasarkan PP 53/2010 tentang disiplin pns, pasal 4 angka 8 : setiap pns dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaannya, masih ada lagi aturan dalam kode etik pns, dan pernyataan kesanggupan melaksanakan pakta integritas, sehingga pelanggaran terhadap hal tersebut jelas berkonsekuensi sanksi, bagi siapapun pelakunya. Makanya tidak salah kemudian untuk pemberantasan korupsi demi   mewujudkan good and clean governance, KPK menerbitkan  himbauan terkait gratifikasi, sebagaimana suratnya Nomor. B.143/01-13/01/2013 tertanggal 21 januari 2013 kepada pejabat dan  pegawai agar tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnyasesuai pasal 12b ayat 1 UU 20/2001tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti : a)uang/barang/fasilitas lainnyadalam rangka mempengaruhi kebijakan / keputusan / perlakuan pemangku kepentingan, b) uang/barang/fasilitas  lainnya berapapun nilainya dalam setiap pelayanan terkait dengan tugas, wewenang atau tanggung jawabnya, c) uang/barang/ fasilitas lainnya bagi pegawai / pengawas / tamu selama kunjungan dinas, dan d) uang/barang/ fasilitas lainnyadalam proses penerimaan / promosi / mutasi pejabat / pegawai.
Karenanya, mulai sekarang, marilah kita kembangkan “budaya memberi” hanya untuk mereka yang membutuhkan, yaitu : fakir miskin, anak yatim dan orang terlantar, jompo, janda-janda terlantar dan masyarakat kekurangan lainnya, semoga kita disadarkan…amien.

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

200 JUTA NAN “LEJAT”

Perubahan Perpres 54/2010 menjadi Perpres 70/2012 dimana pengadaan barang/jasa melalui pengadaan langsung dapat dilakukan sampai dengan 200 juta (semula hanya sampai 100 juta) membuat beberapa pihak yang merasa “keenakan” melakukan pengadaan menjadi “beliuran”. 
Bagaimana “kada beliuran” lebih dari 70% dari pengadaan barang/jasa pada setiap SKPD adalah pengadaan langsung, mulai dari ribuan sampai ratusan juta, sementara saat ini pengadaan langsung tidak melalui “e-procurement” sehingga sangat mudahnya untuk “bermain-main” menggunakan uang rakyat tersebut, pilihannya adalah : menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara benar” atau menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara tidak benar.”
Sayangnya, banyak diantara birokrat yang memilih untuk menyediakan barang/jasa untuk rakyat secara tidak benar. Modusnya antara lain : a) PA/KPA “superior” dalam pengadaan barang/jasa, memilih penyedia bahkan sampai melakukan pembelian (PPK dan PP hanya kebagian menyelesaikan administratif pengadaan b/j), dibeberapa SKPD peran PPTK bahkan juga sampai mengatur pemilihan penyedia bahkan bertindak ganda “menjadi penyedia” modusnya “meminjam CV”, yang lebih “soft” melimpahkan pengadaan kepada kerabat dan konco-nya.
Mengapa hal ini masih terjadi? Jawabannya singkat, karena ekonomi.
Beberapa PA/KPA merasa keenakan dengan pola lama, dimana beberapa kegiatan di SKPDnya dapat menjadi “ATM” bersama maupun pribadi, baik untuk kepentingan kelompok maupun personal, sehingga perubahan pengadaan b/j kearah elektronik, memasung kreativitas untuk mendapatkan duit haram tersebut secara melimpah, revisi besaran nominal pengadaan langsung sebagaimana termaktub dalam Perpres 70/2012 dengan nominal sampai dengan 200 juta menjadi angin segar untuk kembali “bermain-main” dengan uang rakyat secara illegal. Padahal regulasi tersebut diupayakan untuk perubahan menyeluruh dalam pengadaan, dilakukan para pihak sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, agar pengadaan menjadi  lebih baik, legal, kredibel, akuntabel, bebas korupsi dan mensejahterakan masyarakat. Sejatinya, perubahan tersebut telah berlangsung lebih dari dua tahun membuat kita tersadar, bahkan fakta menunjukkan “bermain-main” dengan pengadaan b/j, banyak birokrat tersandera secara hukum dan sosial, berselimut dinginnya bui, mungkin saat ini “anda” masih terselamatkan karena “belum tercium” aparat berwenang, tapi “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, bersiaplah karena penyesalan pasti datangnya di belakangan…, pada saat itu  “duit” berapapun banyaknya…tak bisa menyelamatkan, karena sanksinya, tidak saja pidana, tetapi juga sanksi sosial dan sanksi dari Tuhan…

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Rabu, 05 September 2012

Mental Maling !


Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si.

Pengadaan barang/jasa secara elektronik APBD murni Kab. HSS tahun 2012 telah ditutup pada 31 Agustus 2012 lalu, tugas berat selanjutnya pengadaan barang/jasa APBD perubahan 2012 menanti untuk diproses lebih lanjut. Banyak cerita dengan penerapan e-proc, suka tidak suka, mendukung dan menolak, bahkan perilaku aneh bermunculan dari yang “gaptek”, mengatasnamakan “si Anu”, bisakah e-proc diatur?, sampai yang menentang keras dan menganggap e-proc sulit, rumit, tidak transparan, tidak berkualitas karena “penawaran banting harga”, dan sebagainya, namun berkat usaha dan kerja keras, e-proc membuktikan sebaliknya. Dalam e-proc : a) para pihak wajib familiar dan aplikatif TI karenanya diklat menjadi solusi dan telah difasilitasi LPSE secara gratis, b) “si Anu” tidak bisa lagi dijadikan media untuk memenangkan lelang “katabelece tidak berlaku dalam SPSE”, c) lelang dalam e-proc tidak bisa diatur-atur, dimanipulasi, direkayasa, dan sebagainya karena semua aktivitas, dokumen lelang, dan sebagainya terekam dan tersimpan dalam sistem yang terintegrasi secara nasional, d) e-proc mudah dan sederhana dalam pengoperasiannya, sangat transparan karena semua pihak dapat melihat dan menjadi pelaku dengan hak dan kewajiban yang sama, e) berkualitas, sebab spesifikasi teknis menjadi acuan bersama, kalau harga dibanting pun kualitas tetap menjadi nomor 1, makanya para pihak Pokja ULP, PPK, PPHP sampai PA/KPA wajib tahu hak dan kewajibannya sehingga dapat melaksanakan kewajiban, memonitor, mengevaluasi paket pelelangan secara komprehensif yang menjadi tanggungjawabnya. Yang lebih penting dari penerapan e-proc adalah : a) efesiensi anggaran dapat dicapai, APBD murni tahun 2012 lelang e-proc mampu menghemat lebih dari 6 milyar rupiah, b) berkontribusi bagi upaya mewujudkan dan melembagakan zona integritas, HSS yang bebas korupsi, c) langkah besar mewujudkan good and clean governance di Kab. HSS, d) yang utama adalah e-proc yang kredibel dan berkualitas diharapkan mampu mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Kab. HSS.


Langkah maju tersebut ternyata belum cukup untuk membuka pikiran bagi sebagian kalangan, yang menganggap e-proc sebagai “sebuah musibah”, dan non e-proc (lelang manual) lebih baik. Padahal dengan non e-proc : a) moment “face to face” antara penyedia dan birokrat pemerintah dalam pengadaan menjadi ladang subur perilaku korup para pihak dalam pengadaan, walaupun dengan cara ilegal dan tidak syah, dengan atas nama 10% atau apapun namanya untuk pemilik paket pelelangan, b) sudah menjadi rahasia umum, banyak ditemukan, birokrat berperan ganda dalam pengadaan, sebagai PPK dan sekaligus penyedia, sehingga dapat men-setting pengadaan sesuai kehendak pribadi/SKPDnya, c) dengan non e-proc, penyedia harus siap merogoh kocek dalam-dalam untuk para pihak yang terlibat dalam pengadaan kalau mau semua urusannya lancar, hal ini membawa konsekuensi ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan sehingga jangan heran uang anggarannya tinggal 50% untuk pelaksanaan, selain menurunkan kualitas juga menjadi ladang subur perilaku pungli, pemerasan (tukarkan tiket pang kawal handak ka jakarta nah..), dan perilaku menyimpang lainnya. Dengan non e-proc semuanya berujung pada perilaku korup yang bermotif ekonomi dan sejatinya wajib diberantas dan diperangi secara bersama-sama.


Sayangnya, hal tersebut mendapat ujian yang cukup berat, bagaimana tidak, berlakunya Perpres 70/2012 sebagai perubahan kedua tentang pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi kabar gembira bagi penyuka perilaku korup, dimana dengan ambang batas pengadaan langsung sampai dengan 200 juta menjadi lahan empuk para pihak yang tidak suka e-proc, karena memang sampai saat ini sistem belum mengakomodir model pemilihan dimaksud, yang sayangnya lagi jumlahnya justru lebih besar dibanding dengan paket pelelangan diatas 200 juta. Indikasinya, a) jauh sebelum Perpres 70/2012 terbit sudah ramai ditanyakan kapan pemberlakuannya, baik oleh birokrat maupun penyedia, bahkan ada yang sampai berniat menarik pengadaan yang mau di e-proc-kan b) idiom “kalau bisa dibawah 200 juta” kenapa harus diatasnya, memberi sinyal pelelangan non e-proc menggejala ke arah menyimpang.


Bagaimana solusinya, alternatif kebijakan yang diterapkan dengan mainstream perang terhadap korupsi karenanya langkah yang dapat diambil adalah : a) LKPP perlu memperbaharui sistem pengadaan secara elektronik, memantapkan e-purcahing (pembelian langsung) dan membuat pengadaan langsung ke dalam SPSE, b) regulasi di daerah perlu memantapkan pengendalian, monitoring dan evaluasi pengadaan langsung semua SKPD, yang sampai saat ini belum ada, sebagaimana telah dipertanyakan legislatif, penggunaan unit organisasi yang ada, yang membidangi atau membentuk unit khusus dapat diefektifkan untuk kegiatan ini, c) pelembagaan zona integritas, wilayah bebas korupsi menjadi media formal meminimalisir perilaku korup dalam pengadaan, khususnya pengadaan langsung di semua SKPD, termasuk adanya reward and punishment yang tegas dan jelas terhadap para pelakunya.


Kesemuanya itu tentu terpulang kepada kita secara pribadi maupun kelembagaan, bagaimanapun sistem dibuat sesempurna mungkin, kalau memang bermental “maling”, tetap saja korupsi menjadi pilihan untuk memenuhi kekayaan dan gaya hidup hedonis metropolitan, yang sayangnya tidak pernah akan tercukupkan, walaupun penjara adalah konsekuensinya, kecuali hayatmu dicabutkan oleh-Nya, semoga kita tidak termasuk orang yang demikian. Akhirnya, kita berharap, Perpres 70/2012 yang secara aplikatif diterapkan pada APBD perubahan 2012, e-proc maupun non e-proc, semangat kita tetap satu bersama-sama kita memerangi korupsi dalam pengadaan barang/jasa, demi HSS yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih sejahtera, karena kita ingin HSS mandiri, unggul dan religius, amien.

Rabu, 01 Agustus 2012

Ramadhan, PUASA KORUPSI (Aspek religius dalam pengadaan barang/jasa)



Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Hari ini 6 Agustus 2012, bertepatan dengan hari ke-17 kita memasuki bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah dan kemuliaan, bulan ini juga bertepatan dengan target proses pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk APBD 2012 (murni) berakhir, sisa waktu tahun 2012 digunakan untuk pelaksanaan kontrak, monitoring dan evaluasi kontrak, serah terima barang/jasa dan pemanfaatannya oleh masyarakat, kalaupun ada paket pelelangan khusus untuk paket pengadaan pada anggaran perubahan APBD 2012.
Mengapa perlu membicarakan ramadhan dan pengadaan barang/jasa, apakah ada benang merahnya? Tentu saja ada, pengadaan barang/jasa diketahui banyak kerawanan bahkan kejahatan, “korupsi” dan dicap sebagai musuh bersama bangsa (commun enemy) dan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Ramadhan bulan ampunan dan keberkahan. Sebagai manusia tentu kita pernah melakukan kesalahan, karenanya kita memohon pengampunan, dan mengharap keberkahan agar kita dapat memperbaiki diri kearah kebenaran dan kebaikan.
Hikmah puasa dan amalan yang diajarkan selama ramadhan dapat berkontribusi pada perubahan pola pikir, perilaku sikap pelaku pengadaan barang/jasa, a) ramadhan adalah bulan penyucian, penuh berkah dan kemuliaan, ramadhan dengan puasanya mengajarkan kita berpikir, bersikap dan berprilaku jujur dalam berpuasa, walaupun sebenarnya kita bisa makan minum dengan bersembunyi, tetapi bisakah kita sembunyi dari-Nya, komparasinya sejatinya pola pikir, sikap dan perilaku jujur tersebut juga diaplikasikan dalam pengadaan barang/jasa, b) agar ibadah kita paripurna maka Alquran dan Hadis adalah pegangan dalam pengabdian kepada sang Khalik menuju keharibaan surga-Nya nan abadi, komparasinya dalam pengadaan barang/jasa, sikap tunduk dan berpegang pada hukum yang berlaku menjadi acuan semua pihak  sehingga dicapai kebenaran yang berkeadilan, jadi berbagai pola pikir, sikap dan perilaku menyimpang dalam pengadaan saatnya dikubur dalam-dalam, karena hal itu adalah pelanggaran terhadap hukum Tuhan dan hukum manusia, c) kita melakukan Ibadah untuk mengharap kebaikan “kebaikan yang paripurna”,  bukan untuk melakukan pelanggaran, kezaliman,  dan kemungkaran. Komparasinya dalam pengadaan barang/jasa kita mengharap kebaikan bagi semua, baik dalam arti berkualitas dan memiliki kemanfaatan yang sempurna.
Bagaimana mewujudkan itu? Memang tidak mudah, ia penuh rintangan dan godaan. Pengadaan barang/jasa senantiasa berhubungan dengan “uang”, dan setannya tentu sangat menggairahkan. Siapa yang tidak perlu materi, jawabnya semua perlu, tapi kita menjaga untuk tidak diperbudaknya menjadi “manusia korup” yang menyengsarakan ummat 'nauzubillah”, sebab kita masih memiliki hati, iman dan Tuhan, dan sejatinya ramadhan adalah : a) bulan menahan diri dari perilaku korup “PUASA KORUPSI”, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran dan tindakan melawan hukum lainnya, b) bulan pengampunan, sebagai manusia tentu kita tidak pernah terlepas dari berbuat salah, sadar atau tidak sadar, langsung maupun tidak langsung, mungkin telah merugikan orang lain, masyarakat dan Negara, karenanya momentum ramadhan hendaknya menjadi tonggak “BERHENTI KORUPSI” dan tidak akan mengulanginya lagi, c) bulan penyadaran, mulai berfikir, bersikap dan bertindak “TIDAK AKAN KORUPSI”, melakukan pengadaan barang/jasa, tugas dan kewajiban sesuai ketentuan yang berlaku, dan d) bulan peningkatan kualitas diri  karena semua aktivitas pengadaan barang/jasa, pelaksanaan tugas dan tanggungjawab merupakan ibadah kepada ummat dan Sang Pencipta, sehingga apapun bentuknya “HARAM KORUPSI”. Karena ia melanggar hukum manusia dan hukum Tuhan. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188) , sementara suap, sebagai bagian dari perilaku korup, secara khusus,  “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).



Selasa, 24 Juli 2012

SPSE Yang Masih Diterima Setengah Hati

Oleh : Samsul Irfan S.Sos., M.Eng



Dengan penerapan sistem pengadaan secara elektronik di Kab. HSS sudah nampak jumlah penghematan dana daerah yang berhasil dilakukan. Para peserta lelang berlomba-lomba untuk menawarkan barang/jasa dengan kualitas yang dijanjikannya dan dengan harga yang lebih kompetitif. Hal ini sangat berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan pada masa lalu yang dilakukan secara manual, dimana masing-masing penyedia barang/jasa berusaha melakukan “arisan”, “baatur” atau sebisa mungkin bekerjasama dengan pihak yang menentukan dalam proses pengadaan barang/jasa (seperti Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen maupun dengan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan)  sehingga uang daerah yang digunakan untuk mengadakan barang/jasa menjadi “bengkak” dari harga yang semestinya karena digunakan untuk memperlancar “kongkalikong” yang mereka lakukan itu.
Dari sisi kepentingan pemerintah dan masyarakat, penerapan sistem pengadaan secara elektronik benar-benar menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan, baik dari segi penghematan dana, kualitas pekerjaan, waktu yang lebih cepat, efisiensi tempat dan akuntabilitas yang semakin baik. Namun hal ini membuat beberapa pihak yang selama ini sering mendapatkan keuntungan dari lelang yang dilakukan melalui kongkalikong menjadi kebakaran jenggot. Pihak rekanan “hitam” mulai banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan lelang dan para birokrat-birokrat yang sering mendapatkan keuntungan dari proses kongkalikong itupun banyak yang kehilangan “pemasukan untuk kantong pribadi”. 
Karena merasa kenyamanannya terganggu maka pihak-pihak di atas banyak yang berusaha melakukan perang urat syaraf dan penyebarkan opini yang kurang tepat untuk menciptakan persepsi di masyarakat bahwa penggunaan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik membawa dampak yang buruk. Beberapa “sas-sus” diantaranya adalah bahwa penggunaan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik tidak transparan, memutus tali silaturahmi, menurunkan kualitas hasil pekerjaan, mengamankan kepentingan pemerintah agar tidak banyak diprotes oleh masyarakat, rumit dan menyulitkan.
Mari kita urai secara singkat, pertama, penggunaan lelang elektronik tidak transparan, padahal cukup dengan mengetik alamat situs LPSE HSS dialamat : lpse.hulusungaiselatankab.go.id, siapapun dan dimanapun asalkan dia terhubung dengan jaringan internet maka dia bisa tahu, terlibat dan mengawasi proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara elektronik, mulai pengumuman sampai penetapan pemenang, dan bahkan isi kontrak atau rangkuman kontraknya pun bisa mereka lihat.
Kedua, sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik memutus tali silaturahmi, padahal dengan sistem ini melalui LPSE layanan, bantuan, pendampingan, tanya jawab dan koordinasi dengan semua pihak yang terlibat dalam lelang secara elektronik ini baik secara langsung maupun melalui telepon ataupun media komunikasi lainnya semuanya difasilitasi. di website LPSE HSS pun tersedia forum tanya jawab yang bisa digunakan untuk berkomunikasi antara semua pihak yang masuk ke website ini. Dulu, silaturahmi yang terjadi hanyalah kamuflase dan disalahgunakan sebagai media “bekerjasama secara negative” dalam pengadaan barang/jasa. 
Ketiga, menurunkan kualitas pekerjaan karena para penawar berlomba-lomba menurunkan harga supaya menjadi penawar terendah sehingga mengakibatkan penurunan kualitas pekerjaan. Sistem SPSE adalah proses pemilihan penyedia barang/jasa, sedangkan untuk memastikan bahwa kualitas pekerjaan itu benar-benar berkualitas dapat dilihat dari spesifikasi teknis yang ditawarkan penyedia yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan, bahkan Pokja dapat mempertanyakan, mengklarifikasi dan mengambil langkah selanjutnya kalau harga yang ditawarkan kurang dari 80% dari HPS, belum sampai disitu, jaminan kualitas pekerjaan juga dapat dijaga PPK pada saat pelaksanaan kontrak, termasuk menggunakan jasa konsultan pengawasan, sebelum diserahterimakan wajib dilakukan pemeriksaan, termasuk pengujian oleh PPHP. 
Keempat, hanya mengamankan kepentingan pemerintah agar tidak banyak diprotes, padahal dalam SPSE telah diadopsi media sanggah, sanggah banding dan pengaduan, ada akibat administrasi, perdana dan pidana bila terjadi pelanggaran. Kelima, lebih rumit dan menyulitkan. karena keharusan mahir menggunakan komputer dan internet, SPSE menjadi media bagi pengguna untuk melek TI dan mendukung program e-goverment, kalaupun tidak bisa, LPSE memfasilitasi diklat SPSE kepada semua pengguna. 
Singkat kata, masih belum sepenuhnya diterima pengadaan secara elektronik lebih disebabkan karena a) ketidaktahuan, solusi yang perlu dijalankan optimalisasi sosialisasi, dengan berbagai media, akses dan kesempatan, b) penolakan karena status quo dan kemapanan, solusinya perubahan mindset, perilaku dan sikap melalui penyadaran, regulasi, reward and punishment, sehingga tercipta komitmen, tanggungjawab dan kerja keras aparatur melakukan pengadaan barang/jasa secara kredibel di Lingkup Pemkab. HSS.

Zona Integritas, bebas korupsi !

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si


LKPP menyebutkan kebocoran keuangan negara yang besarnya melebihi 50%  didominasi oleh pengadaan barang/jasa. Fakta menunjukkan kasus-kasus yang muncul kepermukaan akhir-akhir ini, dimana mendudukkan para pejabat negara dan birokrat sebagai pesakitan “rumah prodeo” adalah disebabkan karena kegiatan atau ketersangkutan yang bersangkutan dengan pengadaan barang/jasa. Hal ini tentu mengkhawatirkan sekaligus memprihatinkan. Khawatir, sebab ternyata membawa phobia baru bagi kalangan birokrat, sehingga ketika ditunjuk untuk mengikuti diklat pengadaan dan ujian sertifikasi, “sengaja” tidak mau lulus, kalau lulus takut ditunjuk sebagai PPK atau Pokja ULP, mengemban amanah tersebut sama saja menjejakkan kaki sebelah di penjara, katanya. Prihatin, jelas kita juga perlu berduka dan berempati, terhadap mereka yang tersangkut, yang karena “terpaksa dan dipaksa” oleh sistem dan keadaan, harus mendekam dalam dinginnya bui. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut dapat menimbulkan krisis SDM pengadaan, ah...ternyata tidak juga, yang tersangkut kasus itu lebih karena mereka tidak “lurus” dalam pengadaan, karena tergoda “kenikmatan dan kemapanan”.  Mungkin makna “lurus” inilah yang perlu diluruskan. Setidaknya harus kita mulai dengan niat, toh penyimpangan dalam pengadaan yang berujung pada tindakan KKN, yang utama karena niat plus kesempatan. Kalau pintu masuknya telah kita tutup rapat-rapat, kesempatan yang datang, tidak membuat kita khilaf. Untuk meluruskan niat, tentu harus dimulai dari diri sendiri, pada detik ini, dan pada kegiatan ini, artinya, kita perlu menumbuhkan kesadaran yang berujung pada komitment. Kesadaran hanya dapat terbentuk apabila kita memiliki 3 (tiga) modal utama, yaitu hati (keyakinan sebagai seorang religius, kita bertuhan, setiap apa yang kita lakukan pasti diminta pertanggungjawaban oleh-Nya, Dia melihat walau amplop itu disembunyikan dibawah meja, Dia tahu apa yang tersembunyi bahkan dari hatimu sekalipun), moral (menyangkut kepantasan, kepatutan dan etika) dan logika (reward and punishment, aksi – reaksi, sebab – akibat, karenanya pertimbangan rasio menjadi modal utama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Penekanan niat ini secara kelembagaan, terstuktur maupun fungsional kemudian diejawantahkan dalam pakta integritas, yang diikrarkan setiap aparatur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 
Pengucapan ikrar menjadi simbolisme penegasan pengakuan akan kesadaran penuh, baik kepada negara maupun tuhan, dan pelanggarannya adalah personal, struktural, legal dan sosial. Kesemuanya senantiasa membawa konsekuensi, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, satuan maupun terakumulasi, sebagai dosa terhadap masyarakat, daerah, negara dan tuhan.
Pengakuan akan komitmen personal bagi masing-masing aparatur, yang secara kolektif kemudian menjadi pengakuan komunal sebagai suatu bagian/unit/kantor atau apapun namanya, melahirkan komitmen bersama secara tunggal pada suatu kewilayahan, baik dalam skop kecil, tidak saja dalam persfektif unit kerja bahkan meluas di seluruh Kab. Hulu Sungai Selatan.  
Kesadaran dan komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku,  melahirkan tanggung jawab, melakukan yang terbaik bagi daerah dan masyarakat dimanapun ditugaskan. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan kondisi suatu komunitas/bagian/unit/kantor teraktualisasi sebagai zona integritas, zona aparatur yang secara sistemik dan sosial sebagai bagian “kekitaan” yang integral, legal, melayani, dan akuntabel, dan komunitas/bagian/unit/kantor yang menjadi zona-zona integritas otonom yang bersinergi dan saling menguatkan, pada akhirnya mampu mewujudkan kawasan bebas korupsi, khususnya di Kab. Hulu Sungai Selatan maupun negeri bernama Indonesia. Dengan kondisi tersebut, patutlah kita bertepuk dada, bangga sebagai daerah dan bangsa yang mandiri, unggul dan religius, karena faktanya adalah realita. Semoga.

Pakta Integritas dan Pengadaan Yang Kredibel

Oleh : Rakhmani, S.Sos.,M.Si

Menyimak dan menelaah kata dan kalimat sebagaimana tertuang dalam pakta integritas, sebagaimana diikrarkan dan ditandatangani seluruh pejabat hingga ke level staf di Lingkup Pemerintah Kab. Hulu Sungai Selatan, dan menghubungkannya dengan pelaksanaan pelayanan pengadaan sebagai salah satu tugas dan fungsi aparatur, memberi pemahaman, semangat dan kesadaran yang lebih mantap bagi aparatur, agar dalam pelaksanaan tugas, khususnya dalam melayani proses pengadaan harus professional, taat hukum, jujur, obyektif, dan akuntabel, lebih-lebih saat ini layanan pengadaan telah memasuki era baru, dengan penggunaan teknologi informasi, sehingga pengadaan dapat berlangsung secara transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, bahkan mampu berperan dalam efesiensi dan efektivitas penggunaan dana APBN/APBD, (Data LKPP menunjukkan kisaran efesiensi anggaran dengan lelang elektronik mencapai 10-15%).
Dengan pengadaan secara elektronik melalui LPSE, para pihak yang terlibat dalam pengadaan dimudahkan dan dilindungi secara hukum, para pihak sesuai tugas dan kewenangannya bertanggungjawab dalam wilayah yuridiksinya masing-masing.
Dalam tataran terkecil, dengan tidak bertemu muka, misalnya antara pokja ULP dan penyedia, maka kemungkinan untuk terjadinya “main mata” dalam pengadaan dapat diminimalisir, dampak lebih jauh, isu suap menyuap, premanisme dalam pengadaan, pemerasan, berkolusi untuk memenangkan salah satu penyedia, karena terjadinya perikatan illegal antara Pokja ULP dan penyedia dapat diminimalisir.
Dampak lebih lanjut, terpilihnya penyedia “abal-abal” yang cuma sekedar jadi makelar pengadaan dapat dihilangkan sehingga kerugian keuangan negara/daerah dapat dihindari.
Contoh lain, misalnya PA/KPA atau PPK tidak diperkenankan turut bermain dalam satu paket pengadaan, sebagaimana kita ketahui, secara legal formal tidak ada dasar hukum yang membenarkan tindakan tersebut, karena akan terjadi “conflict of interest”.
Hal lain, Para PA yang notabene merupakan top manajemen di level SKPD harus memberi contoh kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, yang kemudian diteruskan hingga ke level middle manajemen dan lower manajemen hingga staf. Para PA/KPA, pokja ULP, PPK, PPHP, auditor, penyedia melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pengadaan, mengacu sebagaimana diatur dalam Perpres 54/2010, tidak dibenarkan mengatur, mempengaruhi, memaksa bahkan mengintimidasi proses pengadaan, bahkan top manajemen yang lebih diatasnya memberikan arahan dan bimbingan agar dalam pelaksanaan pengadaan tetap berpegang pada ketentuan yang berlaku, dalam persfektif ini maka kerjasama dan kebersamaan harus dibina dan dikembangkan. Bahkan terhadap penyimpangan yang terjadi semua pihak memiliki kewajiban untuk melaporkan kepada pihak-pihak terkait, dan apabila terbukti atas pelanggaran yang dilakukan siapapun pelakunya, harus mempertanggungjawabkan semua tindakan pelanggaran dimaksud. Bukankah setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Dengan ikrar pakta integritas, ditandatangani dan kemudian diaplikasikan dalam pelaksanaan tugas, khususnya dalam pelayanan pengadaan barang/jasa, pada akhirnya akan mewujudkan pengadaan yang kredibel, dampak lebih jauh, hal ini memberi andil bagi terwujudnya clean & good governance di Lingkup Pemerintah Kab. HSS, terwujudnya Hulu Sungai Selatan yang bersih, Hulu Sungai Selatan yang bebas korupsi dan Hulu Sungai Selatan yang bermartabat dan sejahtera.


Rabu, 16 November 2011

Berharap pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik

Trainer LPSE Kab. Hulu Sungai Selatan

Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) adalah sebuah sistem yang berbasis web yang dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa - Bappenas pada tahun 2006 sesuai Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Lembaga ini merupakan ‘pemekaran’ Pusat Pengadaan yang sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Perpres ini, seluruh tugas menyangkut kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi tanggung jawab LKPP, termasuk di dalamnya pengembangan dan implementasi electronic government procurement. Sistem pengadaan secara elektronik yang dikembangkan oleh LKPP telah mencakup sistem pengadaan menurut Perpres 54 / 2010 dan juga pelaksanaannya berdasarkan UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.

SPSE dikembangkan untuk digunakan secara bebas (free license) oleh instansi di seluruh Indonesia, dan berdasarkan Perpres 54/2010 bahwa setiap instansi pemerintah harus menggunakan SPSE pada tahun 2012 untuk seluruh/sebagian paket pekerjaan.

Kenapa harus SPSE?
Pengadaan barang merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa pihak seperti Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, PPK, ULP, Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan serta Penyedia Barang/Jasa, dalam proses ini banyak sekali kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan KKN, seperti yang diungkapkan oleh wakil ketua KPK, Chandra Hamzah bahwa pengadaan barang dan jasa paling berpotensi mengalami penyimpangan di setiap kementerian. Sebab, salah satu pengeluaran yang paling besar selain belanja rutin adalah pengadaan barang dan jasa,
Pada tahun 2006 saja kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah mencapai 77 persen dari seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK., oleh karena itu harus dibentuk sebuah sistem yang dapat mengurangi potensi kecurangan yang mungkin terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa.

Prinsip dasar dari SPSE adalah untuk meminimalisir adanya intervensi yang terjadi pada proses pengadaan barang/jasa, hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi tatap muka baik itu antara Panitia / ULP dengan Penyedia ataupun Panitia /ULP dengan Pengguna Anggaran atau PPK. Bahkan pada SPSE, penyedia yang mengikuti lelang paket pekerjaan tidak langsung dapat diketahui oleh Panitia, sampai pada tahapan pembukaan penawaran. Selain itu penggunaan SPSE ini dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya hingga 20 %. Bayangkan saja, dengan adanya SPSE, penyedia tidak perlu keluar biaya, tenaga dan waktu untuk proses Aanwijzing, mereka hanya perlu online melalui media apapun yang tersedia untuk mengikuti proses Aanwijzing. Dan oleh karena adanya kesempatan yang seluas-luasnya kepada penyedia dimanapun berada untuk mengikuti lelang dan melakukan penawaran maka akan ada persaingan dalam penawaran yang berakibat pada penghematan penggunaan anggaran tanpa harus menurunkan kualitas atau tujuan akhir yang ingin dicapai.

Pengadaan secara elektronik diharapkan akan mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efisien, efektif, akuntabel, adil, non diskriminatif, terbuka, bersaing, transparan serta aman, sehingga secara luas akan terwujud tujuan dari good governance. Dengan SPSE, semua proses pengadaan akan terkontrol dan terdokumentasikan dengan baik dan aman sehingga setiap penyelewengan pasti akan dengan mudah diketahui, karena pada sistem ini auditor bisa mengakses atau melakukan audit dengan fasilitas e-audit, sehingga semua proses pengadaan dari mulai pengumuman sampai penandatanganan kontrak bisa diketahui dan diakses oleh para auditor (inspektorat, jaksa, KPK, Kepolisian, Tipikor, BPK, BPKP) sehingga diharapkan hal tersebut dapat menghapus keinginan atau niat untuk melakukan kecurangan pada proses pengadaan barang/jasa.

Pengadaan secara elektronik dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada vendor dari mana saja untuk mengikuti pengadaan barang/jasa karena berbasis web, jadi siapa saja bisa mengakses asal ada koneksi internet sehingga diharapkan akan timbul persaingan yang terbuka dan sehat.

SPSE dikelola oleh unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah. Fungsi dari unit LPSE ini antara lain yaitu :
  1. Mengelola Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE);
  2. Menyediakan pelatihan kepada PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa;
  3. Menyediakan sarana akses internet bagi PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa;
  4. Menyediakan bantuan teknis untuk mengoperasikan SPSE kepada PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa;
  5. Melakukan pendaftaran dan verifikasi terhadap PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa.
LPSE tidak terlibat langsung pada proses pengadaan, namun hanya bertindak sebagai fasilitator pengadaan barang/jasa. Seperti diilustrasikan pada gambar dibawah ini

Gambar 1. Posisi LPSE dalam Pengadaan Barang/Jasa
dengan kewenangan ini diharapkan tidak ada lagi penyedia yang bertatap muka langsung dengan Panitia/ULP selama proses pelelangan hingga tahapan pembuktian kualifikasi.

Manfaat dari pelaksanaan e-Procurement, mempunyai dampak makro yang antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Terjadinya efisiensi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rata-rata penghematan anggaran yang dapat diperoleh dari pendekatan e-Procurement dibanding dengan cara konvensional berkisar 23.5 persen. Sedangkan pada HPS (Harga Penetapan Sendiri) dapat dilakukan penghematan rata-rata 20 persen. Biaya pengumuman pengadaan dan pengumuman pemenang lelang juga dapat diminimalisir karena menggunakan pengumuman secara on line yang lebih mudah diakses. Apabila pendekatan pengadaan barang dan jasa melalui e-Procurement ini diikuti oleh sebagian besar atau seluruh lembaga pemerintah/Negara diseluruh Indonesia, maka penghematan anggaran yang dilakukan masing-masing lembaga pemerintah/Negara maka akan berdampak besar pada penghematan APBN;
  2. Pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan cara e-Procurement dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding dengan cara yang dilakukan dengan cara konvensional. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang dan jasa dengan cara konvensional adalah 36 (tiga puluh enam) hari sedangkan apabila dengan cara e-Procurement hanya berkisar 20 (dua puluh) hari. Hal ini dikarenakan dengan sistem elektronik, proses pengumuman pengadaan, penawaran, seleksi dan pengumuman pemenang dapat dilakukan dengan lebih cepat;
  3. Persaingan yang sehat antar pelaku usaha sehingga mendukung iklim investasi yang kondusif secara nasional. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang lebih transparan, fair dan partisipatif mendukung persaingan usaha yang semakin sehat di setiap wilayah dimana pengadaan barang dan jasa dilakukan. Tidak ada pengaturan pemenang lelang serta menghilangkan sistem arisan antara pelaku usaha, pelaku usaha yang besar tidak dapat menekan pelaku usaha kecil untuk tidak berpartisipasi dalam tender, serta pelaku usaha di semua tingkatan tidak dapat menekan lembaga pemerintah untuk memenangkannya dalam tender. Pelaksanaan lelang diatur dalam suatu sistem yang transparan, akuntabel, dan meniadakan kontak langsung antara panitia dengan penyedia barang dan jasa. Pelaku usaha yang unggul dalam melakukan efisiensi terhadap seluruh aktifitas operasional usahanya akan mendapatkan keunggulan kompetitif. Secara umum sistem e-Procurement menuntut penyedia barang/jasa untuk berlomba dalam melakukan efisiensi, sementara disisi lain juga dituntut untuk menghasilkan output yang berkualitas. Kondisi semacam ini merupakan ciri yang diterapkan pada persaingan yang sehat (fair market competition) dan akan mendukung iklim investasi yang kondusif bila e- Procurement diterapkan secara konsisten ditingkat nasional. (Sumber: http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2868)

Berdasarkan kelebihan-kelebihan diatas maka proses pengadaan secara elektronik bisa dijadikan pendekatan yang tepat untuk menjauhkan dari praktek KKN yang terjadi pada saat proses pengadaan barang dan jasa,

Meskipun jelas bahwa implementasi SPSE sangat baik dalam proses pembangunan tetap saja pada saat pembentukan LPSE dan penyelenggaraan SPSE terkadang masih tarik ulur karena adanya kepentingan oleh pihak-pihak yang biasanya merasa ”nyaman” dengan proses pengadaan secara konvensional, padahal dengan SPSE semua pihak harusnya merasa aman dan nyaman jika memang pola pikirnya sudah berorientasi untuk mewujudkan clean and good governance.

Pelaksanaan sistem pengadaan secara elektronik ini tidak lepas dari dukungan dan komitmen dari pimpinan daerah, ketika semua sepakat untuk mewujudkan clean and good governance maka pelaksanaan SPSE tidak akan mengalamin kesulitan.

Berharap semua aturan dalam proses pengadaan barang dan jasa akan terwujud dengan adanya SPSE. Amin