"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Rabu, 04 September 2013

ADMINISTRASI, PERDATA, PIDANA…?

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Berita dari Tanjung, Tabalong akhir Agustus 2013 lalu membuat heboh dunia pengadaan di Kalsel, apa sebab, “Pokja ULP ramai-ramai mundur” semua media cetak lokal memberitakan, bahkan ULP Tabalong mempertegasnya dengan melakukan jumpa pers di Aula Penghulu Rasyid Tanjung. Alasannya, bentuk solidaritas dan protes ketiadaan perlindungan hukum aparat pengadaan di tabalong sebagai akibat penetapan 5 (lima) anggotanya sebagai tersangka pada pengadaan dan pemasangan lampu pedestrian Tanjung Tengah, Hikun dan Tanjung Jangkung pada Distakober Tabalong, padahal menurut mereka,”kesalahan teman mereka tersebut karena kelalaian sehingga cukup berakibat administrasi semata, dan terlalu berat bila dipidanakan”.
Tulisan ini mencoba menelaah pengadaan dalam aspek hukum secara proporsional, sementara kasus diatas sebagai gambaran factual pengadaan dalam realita. Dalam perpres 54/2010 sebagaimana telah diubah dengan perpres 70/2012 pasal 118, menyatakan “Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP : a) dikenakan sanksi administrasi, b) dituntut ganti rugi, dan atau, c) dilaporkan secara pidana” dan kalau membuka website konsultasi pengadaan di LKPP, permasalahan hukum dalam pengadaan dibedakan dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : a) sebelum kontrak (termasuk selama proses pengadaan berlangsung) dan b) setelah kontrak (dimulai sejak pekerjaan pengadaan dilaksanakan).
Mari kita telaah pengadaan sebagai sebuah proses (secara sederhana) : a) perencanaan pengadaan, anggaran dan penerimaan hasil pekerjaan dari PPK (kewenangan PA/KPA), b) perencanaan pengadaan paket pekerjaan (HPS, Spek. Teknis, rancangan kontrak) (kewenangan PPK), c) pemilihan penyedia (kewenangan Pokja ULP), d) pelaksanaan pengadaan, pengendalian dan menyerahkan hasil kepada PA/KPA (kewenangan PPK), e. Penerimaan dan pemeriksaan Hasil Pekerjaan (kewenangan PPHP).
Mari kita soroti berkaitan erat kewenangan pokja ULP yang melakukan proses pemilihan penyedia (sebelum kontrak dilaksanakan), kata kuncinya “setiap anggota pokja dalam melakukan pemilihan penyedia “berkemungkinan” bisa a) benar/sesuai ketentuan yang berlaku atau b) salah/melanggar ketentuan yang berlaku, baik melanggar perpres, pelanggaran dokumen pengadaan, kesalahan prosedur dokumen pengadaan, KKN, pelanggaran persaingan sehat, dsb  (lihat pasal 83 perpres 54/2010 jo 70/2012,  baik sengaja maupun tidak disengaja,”, kalau a) yang terjadi PPK menerbitkan SPBJJ, kalau b) yang terjadi PPK dapat menolak menadatangani SPPBJ dan menyerahkan kasusnya kepada PA/KPA untuk diputuskan. Kalau PA/KPA sependapat dengan PPK maka PA/KPA menyatakan pelelangan gagal. Sebagai tindak lanjutnya, kalau aduan masyarakat atas pelanggaran prosedur dan atau KKN ternyata benar maka : a) dilakukan penggantian anggota ULP yang terlibat, b) anggota ULP yang terlibat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Selanjutnya apabila Pokja ULP salah/melakukan pelanggaran tetapi PPK tetap menyetujui menandatangani SPPBJ begitu juga PA/KPA  tidak ada upaya upaya penghentian pelelangan maka selain mengganti PA/KPA, PPK dan pokja ULP, semuanya yang terlibat juga dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Singkatnya, sebelum kontrak (selama proses pemilihan) pun bisa terjadi kesalahan/kelalaian/pelanggaran dan berakibat administrasi, ganti rugi dan atau pidana.
Bagaimana kalau setelah kontrak, pada umumnya penyelidikan tindak pidana korupsi dimulai karena adanya laporan masyarakat, baik karena ketidaksesuaian barang/jasa yang dihasilkan, adanya kerugian keuangan Negara, mark up atau fiktif, dan itu terjadi setelah pelaksanaan kontrak bahkan lazimnya kontrak telah selesai. Kalau pelanggaran tersebut terjadi maka para pihak yang terlibat bisa : a) sendiri atau b)“berjamaah” , baik penyedia barang/jasa, PPHP, PPK, PA/KPA, bahkan pokja ULP menanggung resikonya;
Melihat kasus diatas disidik oleh Tipikor Polda Kalsel, berarti “kemungkinan” paket tersebut telah kontrak/selesai kontrak dan ketentuan yang digunakan adalah UU No.31/1999 tentang pemberantasan tipikor jo UU No.20/2001, lihat salah satu pasalnya,”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta rupiah dan paling banyak Rp. 1 milyar rupiah (pasal 2 ayat 1)”. Sementara dalam penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yakni meskipun perbuatan  tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Bisa jadi, pokja tidak sengaja atau lalai dalam proses pemilihan penyedia, tetapi dengan pemilihan tersebut penyedia  yang terpilih (dimenangkan) tidak sesuai ketentuan, korupsi, menyerahkan barang/jasa tidak sesuai kontrak, dan merugikan keuangan Negara, berarti pokja dianggap “turut serta bersama-sama melawan hukum”, tindakan tersebut juga dapat merembet pada PPK, PPHP, PA/KPA. Hal ini bisa bertambah parah apabila “disengaja” dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pidanya penjara seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dipenjara dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 1 milyar (pasal 3 ayat 1), atau dari pengadaan tersebut terdapat transaksi  suap dan atau gratifikasi dan sejenisnya, singkatnya setelah kontrak pun bisa berkonsekuensi pidana. Artinya, baik sebelum maupun sesudah kontrak sama-sama berkemungkinan pidana (tidak bisa dibatasi administrasi saja), tetapi sebelum incract, tidak layak kita menghakimi, maka azas praduga tak bersalah tetap dikedepankan, sehingga biarlah pengadilan yang memutuskan.
Bagaimana di HSS, kita berharap pokja ULP melaksanakan pengadaan sesuai ketentuan yang berlaku, tetap memperhatikan tertib administrasi, tertib prosedur dan tertib hukum. Karena bagaimanapun, Negara kita adalah Negara hukum dan menurut konstitusi “setiap orang/warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan”. Konteks ini memberi penegasan bahwa setiap warga Negara tidak ada yang “bebas hukum”, sehingga baik kedudukan, sikap dan perilakunya bisa berakibat hukum, siapapun dan apapun kedudukannya.semoga kita diingatkan, amien.

Minggu, 18 Agustus 2013

SETELAH LEBARAN, APA…???

Bulan ramadhan adalah bulan suci ummat islam, bulan melaksanakan ibadah puasa, bulan melaksanakan amalan-amalan yang pahalanya berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya, dan tidak ada ummat islam yang melewatkan bahkan dengan suka cita, berpuasa di siang hari dan ketika malam hari berbondong-bondong ke mesjid, langgar dan mushala untuk melaksanakan shalat tarawih, witir dan ibadah lainnya, singkat kata bulan ramadhan merupakan bulan penyucian diri untuk menggapai ketaqwaan paripurna, dan simbolisme kemenangan dirayakan dengan berlebaran, saling berkunjung, bersilaturrahmi, dan saling bermaaf-maafan, karena sebagai manusia, kita tak sempurna, tak luput dari kesalahan, khilaf dan permohonan maaf dengan ikhlas adalah jembatan untuk menggapai kefitrian sesama manusia.
Pertanyaan besarnya adalah : setelah Ramadhan dan lebaran, selanjutnya apa? Pertanyaan ini perlu mendapat renungan bersama, apakah jawabannya : kembali ke “habit” sebelum ramadhan, atau ke pribadi baru yang kokoh dengan nuansa ramadhan yang telah menempanya?jawabannya ada di masing-masing pribadi kita.
Kalau jawabannya kembali ke “habit” semula, ramadhan dan ritualnya tidak lebih sekedar rutinitas tanpa makna, sebatas menggugurkan kewajiban sebagai ummat islam, dan bekasnya tidak masuk ke dalam jiwa, bahkan ia tak mampu membimbing ruh untuk kea rah perubahan. Tetapi kalau jawabannya ramadhan melahirkan pribadi baru yang penuh kebaikan, berbagi, peduli, takut pada hukum Allah, dan pengakuan ada kehidupan setelah kematian serta ada tujuan yang kekal, yang kemudian melahirkan kesadaran dari hati, diucapkan dengan lisan, dilaksanakan oleh raga dan dimplementasikan oleh perbuatan, maka ramadhan menjadi media teologisme untuk mencapai ketauhidan yang hakiki, karena setelah lebaran, seluruh pikiran dan aktivitasnya senantiasa diwarnai oleh kebaikan dan untuk kebaikan.
Implementasinya sebagai seorang birokrat maka semua aktivitas kerja yang dilakukan merupakan pengabdian terbaik bagi masyarakat dan daerah, sehingga semua pikiran dan aktivitasnya senantiasa berproduksi untuk kemaslahatan ummat, menggapai kesejahteraan bersama. Bagaimana itu dilakukan? Semuanya dalam satu filosofi ketauhidan “karena  Allah SWT”. Marilah kita renungkan, kalau pengakuan ketauhidan kita menuntun kita takut pada hukum Allah maka semua aktivitas kita insyaallah berjalan lurus, bersih dan baik. Apakah mengambil yang bukan haknya dibenarkan? Apakah bertindak zalim dibenarkan? Apakah berbuat curang dibenarkan? Apakah melakukan maksiat dibenarkan? Apakah korupsi, kolusi dan nepotisme halal dan dibenarkan? Jawabannya tentu melanggar hukum Allah SWT. Karenanya, dengan berkah ramadhan marilah kita fitrikan hati, karena dengan hati yang bersih dan suci, semua aktivitas kebaikan kita dimudahkan, jalan lempang dibukakan, dan karunia serta kesejahteraan dicurahkan, semua itu untuk pengabdian terbaik bagi masyarakat dan daerah Hulu Sungai Selatan yang kita cintai, amien.

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: " kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa”, (QS. An-Nahl, 16: 30)

Senin, 15 Juli 2013

JANGAN ZALIM!

Saya pernah mendapati seorang birokrat mengatakan (kurang lebih) “apapun yang kamu lakukan, akulah yang menentukan,” birokrat itu mengatakan bahkan sambil membusungkan dada, yang bersangkutan telah melakukan “Power tends to corrupct”,, entahlah…yang jelas saya ketahui yang bersangkutan orang terpelajar (karena memiliki pendidikan tinggi), religius (karena mentaati perintah agama, shalat, mengaji, puasa, dan sebagainya, bahkan kadang-kadang berubah menjadi pemuka agama), saya akui posisinya saat itu, dia berada di atas saya, dan mungkin karena ingin menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki otoritas terhadap diri dan pikiran saya…sayangnya yang bersangkutan lupa, bahwa ada Dia Yang Maha, diatas segalanya, pemilik otoritas diri, pikiran, jiwa bahkan nyawa kita, saya hanya berharap yang bersangkutan disadarkan, semoga.
Mungkin pengalaman tersebut pernah anda lakukan atau anda alami, karena posisi yang berbeda, kadang kita merasa diatas segalanya, dan mengabaikan dan tidak menganggap kehadiran orang lain menjadi bagian dari “kekitaan” sebagai manusia yang ditakdirkan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, pembeda sejati hanyalah “taqwa”.. sesama birokrat, di semua level tingkatan hirarki, terhadap masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas, bahkan terhadap binatang dan alam sekitar sekalipun. Karena kita semua akan diminta pertanggungjawaban dihadapan-Nya,
Kalau anda merasa berkuasa dan zalim terhadap orang lain, segeralah tinggalkan, karena kita makhluk sosial, yang hidup memerlukan bantuan orang lain, makanya perlu kerjasama dan kebersamaan, sehingga tercapai tujuan bersama, berbangsa dan bernegara.
Hirarki diciptakan untuk mewujudkan keteraturan, bukan untuk berbuat zalim. Hirarki diciptakan untuk memberi ruang “siapa bertanggungjawab apa” sehingga akan lahir optimalisasi dan efesiensi sumber daya untuk efektivitas tujuan organisasi berpemerintah daerah.
Bukan saatnya lagi menciptakan “ketakutan” dan “tunjuk tangan” dalam berpemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, birokrat bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani “melayani dengan hati”. Pelayanan yang lahir dari hati, pada akhirnya menumbuhkan kebersamaan, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab bersama, yang kemudian melahirkan partisipasi berkesadaran, karena kita semua adalah bagian “kekitaan” bernama Hulu Sungai Selatan.
Dan kini memasuki pertengahan tahun 2013 hingga tahun 2018,  diera kepemimpinan baru, esensi “SEHATI” memberi penegasan utama bentuk kepemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang akan dibangun. Beberapa analisis singkat memaknai sehati dalam tataran aplikasi dapat diurai sebagai berikut :
1.    Aspek bahasa, sehati memberi makna :   bersatu hati, seia sekata, yang menggambarkan keselarasan perilaku antara niat, pikiran, sikap dan perbuatan dalam hubungan antar manusia yang harmonis yang ditandai kejujuran, loyalitas, kesabaran dan kebersamaan.
2.    Aspek filosofis bersifat religius, sehati merujuk pada hati manusia, “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbutan manusia dan apabila hati itu rusak maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah,ia adalah hati”. (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Nu’man IbnBasyir ra)
3.    Aspek Akronim SEHATI : sejahtera, religius dan produktif, memberi penegasan tujuan ber-Hulu Sungai Selatan selama 2013-2018;
4.    Aspek kepemerintahan dibangun atas dasar harmonisasi, kejujuran, kebersamaan, komunikasi dan kesetaraan;
5.    Pembangunan sektor ekonomi berkontribusi pada aspek sosial sehingga pembangunan infrastruktur, pertanian, pendidikan, kesehatan dan bidang sosial lainnya diorientasikan bagi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan;
6.    Kehidupan kemasyarakatan diarahkan untuk terwujudnya sikap religiusitas public secara kondusif dan harmonis;
7.    Penumbuhan sikap produktif, jiwa wirausaha, bersaing secara sehat dengan mengedepankan keunggulan kompetitif dan komparatif, baik internal maupun eksternal;
8.    Capacity building birokrasi HSS : hirarki, loyality, legality dan professional;
Berbagai analisa tersebut dapat dirangkum dalam satu kata “MEMBANGUN HSS DENGAN HATI”, karena dengan hati maka, ketidakadilan, kezaliman, keburukan, ketimpangan, penindasan, marginalisasi, apriori, sinisme, otoritarianism, korup, dan pelanggaran hukum lainnya dieliminir bahkan diberangus dan tidak dibiarkan tumbuh, baik dihati birokrat maupun masyarakat, kondisi ini pada akhirnya melahirkan HSS yang damai dan sejahtera.
Jadi mulai sekarang marilah kita tetapkan hati, berubah untuk kebaikan, memberi yang terbaik bagi daerah dan masyarakat HSS, “mengabdilah dengan hati” dan kekuasaan yang dijalankan dengan hati dipastikan membawa kebaikan, kedamaian, keberkahan dan kesejahteraan, dan kita akan menjadi manusia yang didambakan kehadirannya, ditangisi kepergiannya, dan dirindukan setiap saat dan untuk mengenangnya pujian dan doa selalu tercurah kepada yang bersangkutan.

“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (Q.S Az-Zalzalah 7-8)

Oleh: Rakhmani, S.Sos,. M.Si

Kamis, 13 Juni 2013

Perusahaan Pembangun Gedung RSUD Ulin Dicabut dari Daftar Hitam

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin menjatuhkan sanksi Black List kepada PT PP pada 16 Februari lalu. Dalam perjalanannya, RSUD Ulin dibawah kepemimpinan dr Suciati sebagai Pelaksana tugas direktur Rumah Sakit terbesar di Kalimantan ini mencabut sanksi Daftar Hitam pada PT PP.

Sesuai kontrak, pembangunan gedung kelas III lantai satu hingga lantai tiga dijadwalkan harus sudah selesai pada 27 Desember 2012 lalu, namun hingga perpanjangan waktu 50 hari, PP belum mampu menyelesaikannya. Total anggaran untuk pembangunan tiga lantai itu sebesar Rp 43 Miliar.

Pasca dicabutnya Black List terhadap PT Pembangunan Perumahan (PP) dalam proyek pembangunan gedung kelas III RSUD Ulin, memantik reaksi Gapensi Kalsel Aspekindo Kalsel dan DPD Asosiasi Aspal Beton Indonesia Kalsel.

Ketiga Asosiasi itu mengacu pada Perpres Nomor 54 tahun 2010 dan Perpres Nomor 70 tahun 2013 dan Peraturan LKPP Nomor 7 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam. Semua aturan yang disebutkannya itu tidak ada mengatur mencabut Black List.

Ketua Gapensi Kalsel, Edy Suryadi mengatakan, LKPP sudah mengatur dan menerbitkan aturan serta menyebarluaskannya seluruh Indonesia, tidak bisa dicabut. Namun jika Black List dicabut, menurutnya untuk apa adanya aturan perundang-undangan, hapus saja portal Black List dan kalau perlu bubarkan LKPP.

Ketua DPD Asosiasi Aspal Beton Indonesia Kalsel, Hermanius mengatakan, Black List adalah masalah hukum maka sudah ada Undang-undangnya yakni Perpres seharusnya ditaati. Pihaknya akan memertanyakan dasar hukum yang mana Black List bisa dicabut.

"Bahkan kalau perlu kami PTUN kan. Kalau hanya karena alasan kemanusiaan Black List boleh dibatalkan maka artinya tidak profesional dalam melaksanakan aturan yang mengatur tersebut, cabut saja semua aturan yang ada," katanya didampingi Ketua Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo), Ariandi Yanuar.

Humas PT PP, Fredi Siregar ketika dikonfirmasi mengatakan, setelah pihaknya berkonsultasi terlebih dahulu masalah legal hukum dan prosedur dengan instansi terkait. Atas dasar itulah maka Black List minta dicabut.

  • Penulis: Hasby
  • Editor: Halmien
  • Sumber: Banjarmasin Post
  • Selasa, 11 Juni 2013

    TERIMA KASIH !!???....

    sumber gambar : www.republika.co.id
    Budaya mengucapkan terima kasih atas bantuan orang lain adalah keniscayaan, karena kita adalah makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat,  karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu bekerjasama bahkan perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita masing-masing. Namun kalau dulu ucapan terima kasih diucapkan sebagai bentuk keihklasan dan bernilai religius, dimana hanya Sang Maha yang akan membalasnya, di era kekinian, ucapan terima kasih telah bergeser, bermotif ekonomi,  hal ini terjadi kentara di level birokrasi pemerintahan, bagaimana sebuah layanan, fasilitasi dan bantuan yang diberikan birokrat dibalas “bahkan kadang bersifat wajib” bagi masyarakat (kalangan pengusaha maupun masyarakat umum lainnya), bahkan antar birokrat sendiri kadang terjadi saling “berterima kasih” dengan embel-embel sejumlah uang, yang walaupun tidak besar, tetap saja, tidak dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
    Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah setiap pengusaha mau mencairkan kegiatan proyek  pengadaan barang/jasa yang telah selesai dilaksanakan (menyogok oknum instansi tertentu agar dipercepat proses pencairan tersebut atau bila urusan cepat diselesaikan kemudian pengusaha tersebut memberikan amplop berisi “duit” sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau pernahkah kita ketika berurusan dengan oknum tertentu, khususnya untuk pencairan sesuatu, mengurus KTP, kartu keluarga, perijinan lainnya, kemudian menyerahkan uang ucapan terima kasih, selain biaya resmi, karena “merasa dibantu, merasa tidak enak, merasa kada nyaman, takutan bila kada mambari, kaina dipersulit bila mengurus kembali”, maka selayaknya kita semua mereposisi ulang makna “pakta integritas, zona bebas korupsi dan tunjangan kehormatan yang sudah kita terima,” tidak saja kita sebagai pejabat di top manajemen,  maupun pelaku pelayanan, karena melakukan pembiaran semua itu terjadi atau bahkan ikut  terlibat melakukan, apakah perlu kita menyalahkan dan selalu menyebut “ah itu kan ulah oknum”, tidak bijak rasanya, kita bersandar pada kata itu, pernahkah kita menyelami permasalahan tersebut sampai ke akarnya, penyebabnya, latar belakangnya, atau kita semua jangan-jangan memiliki andil menciptakan berlangsungnya budaya tersebut secara turun-temurun, karena system yang dibuat, tidak memungkinkan kita melakukan perubahan, bahkan orang yang mau dan bermotivasi untuk melakukan perubahan dianggap “orang gila” karena “melawan arus”, bahkan kemudian “kada dikawani”, dijauhkan dan akhirnya terasing, karena birokrasi sudah disusupi pemikiran, sikap dan perilaku menjadikan uang Negara, uang orang lain, uang teman , sebahagiaannya merasa “ampunku”, karenanya siapapun orangnya “wajib berterima kasih” dengan imbalan tertentu.
    Meminjam istilah Karx marx, terjadi penghisapan antara kelas dilayani oleh yang melayani, itu semua karena godaan hidup materialis dan hedonis, keduniaan yang niscaya, hanya ajal saja yang mampu menghentikannya, sadarkah kita???  Kita perlu merenung ulang dan memahami secara penuh kesadaran dan bertanya kembali apa itu gratifikasi, bercermin pada  UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi diartikan Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (penjelasan Pasal 12B), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,( Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001) padahal didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, b) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, selain itu berdasarkan PP 53/2010 tentang disiplin pns, pasal 4 angka 8 : setiap pns dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaannya, masih ada lagi aturan dalam kode etik pns, dan pernyataan kesanggupan melaksanakan pakta integritas, sehingga pelanggaran terhadap hal tersebut jelas berkonsekuensi sanksi, bagi siapapun pelakunya. Makanya tidak salah kemudian untuk pemberantasan korupsi demi   mewujudkan good and clean governance, KPK menerbitkan  himbauan terkait gratifikasi, sebagaimana suratnya Nomor. B.143/01-13/01/2013 tertanggal 21 januari 2013 kepada pejabat dan  pegawai agar tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnyasesuai pasal 12b ayat 1 UU 20/2001tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti : a)uang/barang/fasilitas lainnyadalam rangka mempengaruhi kebijakan / keputusan / perlakuan pemangku kepentingan, b) uang/barang/fasilitas  lainnya berapapun nilainya dalam setiap pelayanan terkait dengan tugas, wewenang atau tanggung jawabnya, c) uang/barang/ fasilitas lainnya bagi pegawai / pengawas / tamu selama kunjungan dinas, dan d) uang/barang/ fasilitas lainnyadalam proses penerimaan / promosi / mutasi pejabat / pegawai.
    Karenanya, mulai sekarang, marilah kita kembangkan “budaya memberi” hanya untuk mereka yang membutuhkan, yaitu : fakir miskin, anak yatim dan orang terlantar, jompo, janda-janda terlantar dan masyarakat kekurangan lainnya, semoga kita disadarkan…amien.

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

    UNTUK KEHIDUPAN KEDUA

    Sebagai ummat beragama, kita tentu tahu dan yakin bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, sementara akherat kekal, sayangnya walaupun kita tahu dan yakin, karena dunia yang bersifat “saat ini” lebih “real” dirasakan dan dinikmati dibanding “akherat” yang “unreal” dan cuma bisa dibayangkan, sehingga banyak diantara kita “terjebak” oleh ke-realitaan dunia yang memang “nikmat” dibanding “ketidaknyataan” akherat. Dalam tataran religius, dalam konteks ini, kita masih berkutat dalam implementasi ibadah badaniah semata, padahal sejatinya kita berlomba mencapai sufistis religius, dimana alquran dan sunah sebagai tuntunan, untuk badaniah, hati dan ruh kita bersujud kepada-Nya.
    Tapi diera modern dengan liberalism yang mengejawantah, melalui pola hidup materialis dan hedonis, semua itu justru menjadi suatu kenaifan, bagaimana sufistis religius mampu menafkahi raga, karena nafsu adalah panglima, jiwa dan ruh terpinggirkan, karenanya banyak diantara kita justru “bermain-main” kalau tidak mau disebut “berjudi” dengan hidupnya, “dengan dunianya,” parahnya justru banyak dilakukan oleh kalangan terdidik, terpelajar dan beragama, yang justru adalah manusia-manusia tahu, yakin dan religius. Ini menjadi jawaban tesis “mengapa orang terdidik, terpelajar dan beragama justru banyak korup”.
    Aspek duniawi  yang materialis dan hedonis-lah yang menuntun mereka untuk memilih jalan berliku, ya…mereka tahu salah dan melanggar tapi tetap dilakukan, tahu dosa tapi dikerjakan, tahu neraka tetapi tetap dituju, walaupun setiap saat mereka tetap beribadah dan berzikir, tetapi semuanya hanyalah “rutinitas tanpa makna”, walaupun Tuhan melihat, mereka menganggap tidak ada, mereka dibutakan nikmat dunia bernama “syahwat tahta, harta dan wanita”, karena hidup harus dibiayai, hidup harus dinikmati, hidup hanya sekali…mereka belum menemukan hidup untuk disyukuri, hidup untuk mengabdi kepada-Nya, hidup adalah arena “saving” untuk kehidupan kekal di akherat kelak, yang nikmatnya tak tertandingkan. Inilah mengapa, dalam pengadaan barang/jasa kadang muncul usaha terstruktur dan menyimpang. Tidak sesuai prosedur, pihak yang tidak berwenang sebagai pelaku, penggunaan otoritas yang menyimpang, mark up dan fiktif, suap, pungli serta gratifikasi, dan sebagainya…simbolisme pribadi korup. 
    Untuk pengadaan barang/jasa secara manual sebagaimana dilakukan sebelum tahun 2011-an hal demikian banyak ditemukan, bahkan sudah menjadi rahasia umum istilah “10% dari nilai kontrak” menjadi hak pemilik pekerjaan, yang kalau serakah nilai itu bisa menjadi milik seorang pimpinan SKPD, dan kalau mau berjamaah tentu dibagi secara internal dengan besaran sesuai tinggi rendahnya kedudukan seseorang, sehingga dulu terlibat dalam proyek menjadi rebutan semua orang, alasan “lahan basah” dan kemugkinan bertambahnya pundi-pundi uang adalah keniscayaan. Sayangnya, kini  dengan penerapan pengadaan secara elektronik (e-proc), semua bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan, termasuk perilaku korup ditutup rapat, sehingga bisa jadi pengadaan barang/jasa, khususnya selain pengadaan langsung “menjadi tidak menarik lagi” untuk dikerjakan, inilah yang menjadi jawaban utama “mengapa pengadaan barang/jasa selain pengadaan langsung begitu lambat berproses”, tetapi sebaliknya untuk pengadaan langsung dengan nilai sampai dengan 200 juta, justru kebalikannya, bahkan belum diumumkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) proses pengadaannya telah dilakukan. “sebuah ladang baru korupsi kecil-kecilan” bisa dilakukan, parahnya jumlahnya bila  diakumulasikan sangat besar pada suatu SKPD. Semoga kita senantiasa menjadi manusia cerdas dan religius, kalau pun belum, mulailah dengan “iqra…bacalah” karena dengan itu kita terhindar “di bui” karena kebodohan, tersesat oleh dunia yang memabukkan, dan menjadi pribadi cerdas dan religius, beragama yang sarat makna, beramal secara ikhlas, bersyukur atas nikmat dan tuntunan-Nya supaya taat hukum, baik hukum manusia maupun hukum-Nya, karena dengan itu pintu korupsi telah kita tutup rapat-rapat, hanya  mengabdi dan  mengharap keridhaan-Nya serta berlomba memperbanyak bekal untuk kehidupan kedua diakherat nanti, amien.

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

    200 JUTA NAN “LEJAT”

    Perubahan Perpres 54/2010 menjadi Perpres 70/2012 dimana pengadaan barang/jasa melalui pengadaan langsung dapat dilakukan sampai dengan 200 juta (semula hanya sampai 100 juta) membuat beberapa pihak yang merasa “keenakan” melakukan pengadaan menjadi “beliuran”. 
    Bagaimana “kada beliuran” lebih dari 70% dari pengadaan barang/jasa pada setiap SKPD adalah pengadaan langsung, mulai dari ribuan sampai ratusan juta, sementara saat ini pengadaan langsung tidak melalui “e-procurement” sehingga sangat mudahnya untuk “bermain-main” menggunakan uang rakyat tersebut, pilihannya adalah : menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara benar” atau menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara tidak benar.”
    Sayangnya, banyak diantara birokrat yang memilih untuk menyediakan barang/jasa untuk rakyat secara tidak benar. Modusnya antara lain : a) PA/KPA “superior” dalam pengadaan barang/jasa, memilih penyedia bahkan sampai melakukan pembelian (PPK dan PP hanya kebagian menyelesaikan administratif pengadaan b/j), dibeberapa SKPD peran PPTK bahkan juga sampai mengatur pemilihan penyedia bahkan bertindak ganda “menjadi penyedia” modusnya “meminjam CV”, yang lebih “soft” melimpahkan pengadaan kepada kerabat dan konco-nya.
    Mengapa hal ini masih terjadi? Jawabannya singkat, karena ekonomi.
    Beberapa PA/KPA merasa keenakan dengan pola lama, dimana beberapa kegiatan di SKPDnya dapat menjadi “ATM” bersama maupun pribadi, baik untuk kepentingan kelompok maupun personal, sehingga perubahan pengadaan b/j kearah elektronik, memasung kreativitas untuk mendapatkan duit haram tersebut secara melimpah, revisi besaran nominal pengadaan langsung sebagaimana termaktub dalam Perpres 70/2012 dengan nominal sampai dengan 200 juta menjadi angin segar untuk kembali “bermain-main” dengan uang rakyat secara illegal. Padahal regulasi tersebut diupayakan untuk perubahan menyeluruh dalam pengadaan, dilakukan para pihak sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, agar pengadaan menjadi  lebih baik, legal, kredibel, akuntabel, bebas korupsi dan mensejahterakan masyarakat. Sejatinya, perubahan tersebut telah berlangsung lebih dari dua tahun membuat kita tersadar, bahkan fakta menunjukkan “bermain-main” dengan pengadaan b/j, banyak birokrat tersandera secara hukum dan sosial, berselimut dinginnya bui, mungkin saat ini “anda” masih terselamatkan karena “belum tercium” aparat berwenang, tapi “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, bersiaplah karena penyesalan pasti datangnya di belakangan…, pada saat itu  “duit” berapapun banyaknya…tak bisa menyelamatkan, karena sanksinya, tidak saja pidana, tetapi juga sanksi sosial dan sanksi dari Tuhan…

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si