"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Tampilkan postingan dengan label Barang Jasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Barang Jasa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 September 2013

ADMINISTRASI, PERDATA, PIDANA…?

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Berita dari Tanjung, Tabalong akhir Agustus 2013 lalu membuat heboh dunia pengadaan di Kalsel, apa sebab, “Pokja ULP ramai-ramai mundur” semua media cetak lokal memberitakan, bahkan ULP Tabalong mempertegasnya dengan melakukan jumpa pers di Aula Penghulu Rasyid Tanjung. Alasannya, bentuk solidaritas dan protes ketiadaan perlindungan hukum aparat pengadaan di tabalong sebagai akibat penetapan 5 (lima) anggotanya sebagai tersangka pada pengadaan dan pemasangan lampu pedestrian Tanjung Tengah, Hikun dan Tanjung Jangkung pada Distakober Tabalong, padahal menurut mereka,”kesalahan teman mereka tersebut karena kelalaian sehingga cukup berakibat administrasi semata, dan terlalu berat bila dipidanakan”.
Tulisan ini mencoba menelaah pengadaan dalam aspek hukum secara proporsional, sementara kasus diatas sebagai gambaran factual pengadaan dalam realita. Dalam perpres 54/2010 sebagaimana telah diubah dengan perpres 70/2012 pasal 118, menyatakan “Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP : a) dikenakan sanksi administrasi, b) dituntut ganti rugi, dan atau, c) dilaporkan secara pidana” dan kalau membuka website konsultasi pengadaan di LKPP, permasalahan hukum dalam pengadaan dibedakan dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : a) sebelum kontrak (termasuk selama proses pengadaan berlangsung) dan b) setelah kontrak (dimulai sejak pekerjaan pengadaan dilaksanakan).
Mari kita telaah pengadaan sebagai sebuah proses (secara sederhana) : a) perencanaan pengadaan, anggaran dan penerimaan hasil pekerjaan dari PPK (kewenangan PA/KPA), b) perencanaan pengadaan paket pekerjaan (HPS, Spek. Teknis, rancangan kontrak) (kewenangan PPK), c) pemilihan penyedia (kewenangan Pokja ULP), d) pelaksanaan pengadaan, pengendalian dan menyerahkan hasil kepada PA/KPA (kewenangan PPK), e. Penerimaan dan pemeriksaan Hasil Pekerjaan (kewenangan PPHP).
Mari kita soroti berkaitan erat kewenangan pokja ULP yang melakukan proses pemilihan penyedia (sebelum kontrak dilaksanakan), kata kuncinya “setiap anggota pokja dalam melakukan pemilihan penyedia “berkemungkinan” bisa a) benar/sesuai ketentuan yang berlaku atau b) salah/melanggar ketentuan yang berlaku, baik melanggar perpres, pelanggaran dokumen pengadaan, kesalahan prosedur dokumen pengadaan, KKN, pelanggaran persaingan sehat, dsb  (lihat pasal 83 perpres 54/2010 jo 70/2012,  baik sengaja maupun tidak disengaja,”, kalau a) yang terjadi PPK menerbitkan SPBJJ, kalau b) yang terjadi PPK dapat menolak menadatangani SPPBJ dan menyerahkan kasusnya kepada PA/KPA untuk diputuskan. Kalau PA/KPA sependapat dengan PPK maka PA/KPA menyatakan pelelangan gagal. Sebagai tindak lanjutnya, kalau aduan masyarakat atas pelanggaran prosedur dan atau KKN ternyata benar maka : a) dilakukan penggantian anggota ULP yang terlibat, b) anggota ULP yang terlibat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Selanjutnya apabila Pokja ULP salah/melakukan pelanggaran tetapi PPK tetap menyetujui menandatangani SPPBJ begitu juga PA/KPA  tidak ada upaya upaya penghentian pelelangan maka selain mengganti PA/KPA, PPK dan pokja ULP, semuanya yang terlibat juga dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Singkatnya, sebelum kontrak (selama proses pemilihan) pun bisa terjadi kesalahan/kelalaian/pelanggaran dan berakibat administrasi, ganti rugi dan atau pidana.
Bagaimana kalau setelah kontrak, pada umumnya penyelidikan tindak pidana korupsi dimulai karena adanya laporan masyarakat, baik karena ketidaksesuaian barang/jasa yang dihasilkan, adanya kerugian keuangan Negara, mark up atau fiktif, dan itu terjadi setelah pelaksanaan kontrak bahkan lazimnya kontrak telah selesai. Kalau pelanggaran tersebut terjadi maka para pihak yang terlibat bisa : a) sendiri atau b)“berjamaah” , baik penyedia barang/jasa, PPHP, PPK, PA/KPA, bahkan pokja ULP menanggung resikonya;
Melihat kasus diatas disidik oleh Tipikor Polda Kalsel, berarti “kemungkinan” paket tersebut telah kontrak/selesai kontrak dan ketentuan yang digunakan adalah UU No.31/1999 tentang pemberantasan tipikor jo UU No.20/2001, lihat salah satu pasalnya,”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta rupiah dan paling banyak Rp. 1 milyar rupiah (pasal 2 ayat 1)”. Sementara dalam penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yakni meskipun perbuatan  tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Bisa jadi, pokja tidak sengaja atau lalai dalam proses pemilihan penyedia, tetapi dengan pemilihan tersebut penyedia  yang terpilih (dimenangkan) tidak sesuai ketentuan, korupsi, menyerahkan barang/jasa tidak sesuai kontrak, dan merugikan keuangan Negara, berarti pokja dianggap “turut serta bersama-sama melawan hukum”, tindakan tersebut juga dapat merembet pada PPK, PPHP, PA/KPA. Hal ini bisa bertambah parah apabila “disengaja” dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pidanya penjara seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dipenjara dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 1 milyar (pasal 3 ayat 1), atau dari pengadaan tersebut terdapat transaksi  suap dan atau gratifikasi dan sejenisnya, singkatnya setelah kontrak pun bisa berkonsekuensi pidana. Artinya, baik sebelum maupun sesudah kontrak sama-sama berkemungkinan pidana (tidak bisa dibatasi administrasi saja), tetapi sebelum incract, tidak layak kita menghakimi, maka azas praduga tak bersalah tetap dikedepankan, sehingga biarlah pengadilan yang memutuskan.
Bagaimana di HSS, kita berharap pokja ULP melaksanakan pengadaan sesuai ketentuan yang berlaku, tetap memperhatikan tertib administrasi, tertib prosedur dan tertib hukum. Karena bagaimanapun, Negara kita adalah Negara hukum dan menurut konstitusi “setiap orang/warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan”. Konteks ini memberi penegasan bahwa setiap warga Negara tidak ada yang “bebas hukum”, sehingga baik kedudukan, sikap dan perilakunya bisa berakibat hukum, siapapun dan apapun kedudukannya.semoga kita diingatkan, amien.

Selasa, 11 Juni 2013

200 JUTA NAN “LEJAT”

Perubahan Perpres 54/2010 menjadi Perpres 70/2012 dimana pengadaan barang/jasa melalui pengadaan langsung dapat dilakukan sampai dengan 200 juta (semula hanya sampai 100 juta) membuat beberapa pihak yang merasa “keenakan” melakukan pengadaan menjadi “beliuran”. 
Bagaimana “kada beliuran” lebih dari 70% dari pengadaan barang/jasa pada setiap SKPD adalah pengadaan langsung, mulai dari ribuan sampai ratusan juta, sementara saat ini pengadaan langsung tidak melalui “e-procurement” sehingga sangat mudahnya untuk “bermain-main” menggunakan uang rakyat tersebut, pilihannya adalah : menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara benar” atau menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara tidak benar.”
Sayangnya, banyak diantara birokrat yang memilih untuk menyediakan barang/jasa untuk rakyat secara tidak benar. Modusnya antara lain : a) PA/KPA “superior” dalam pengadaan barang/jasa, memilih penyedia bahkan sampai melakukan pembelian (PPK dan PP hanya kebagian menyelesaikan administratif pengadaan b/j), dibeberapa SKPD peran PPTK bahkan juga sampai mengatur pemilihan penyedia bahkan bertindak ganda “menjadi penyedia” modusnya “meminjam CV”, yang lebih “soft” melimpahkan pengadaan kepada kerabat dan konco-nya.
Mengapa hal ini masih terjadi? Jawabannya singkat, karena ekonomi.
Beberapa PA/KPA merasa keenakan dengan pola lama, dimana beberapa kegiatan di SKPDnya dapat menjadi “ATM” bersama maupun pribadi, baik untuk kepentingan kelompok maupun personal, sehingga perubahan pengadaan b/j kearah elektronik, memasung kreativitas untuk mendapatkan duit haram tersebut secara melimpah, revisi besaran nominal pengadaan langsung sebagaimana termaktub dalam Perpres 70/2012 dengan nominal sampai dengan 200 juta menjadi angin segar untuk kembali “bermain-main” dengan uang rakyat secara illegal. Padahal regulasi tersebut diupayakan untuk perubahan menyeluruh dalam pengadaan, dilakukan para pihak sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, agar pengadaan menjadi  lebih baik, legal, kredibel, akuntabel, bebas korupsi dan mensejahterakan masyarakat. Sejatinya, perubahan tersebut telah berlangsung lebih dari dua tahun membuat kita tersadar, bahkan fakta menunjukkan “bermain-main” dengan pengadaan b/j, banyak birokrat tersandera secara hukum dan sosial, berselimut dinginnya bui, mungkin saat ini “anda” masih terselamatkan karena “belum tercium” aparat berwenang, tapi “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, bersiaplah karena penyesalan pasti datangnya di belakangan…, pada saat itu  “duit” berapapun banyaknya…tak bisa menyelamatkan, karena sanksinya, tidak saja pidana, tetapi juga sanksi sosial dan sanksi dari Tuhan…

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Senin, 10 Desember 2012

PENGADAAN B/J DI PINTU TERAKHIR (“Berharap konsistensi dan komitmen PPHP, PPK dan PA/KPA) Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Pengadaan barang/jasa APBD Perubahan 2012 Kab. Hulu Sungai Selatan tinggal menghitung hari (kurang dari 20 hari) sebelum tutup buku tahun anggaran berjalan. Pengadaan b/j memasuki tahap pelaksanaan dan penyelesaian, sikap kehati-hatian perlu dicamkan oleh para pelaku yang terlibat dalam pengadaan. Cermat dan cerdaslah menyikapi pengadaan b/j yang menjadi tanggungjawabnya, terutama aparatur yang ditunjuk sebagai PPHP, PPK dan PA/KPA.
Sekedar mengingatkan, menurut Perpres 70/2012,PPHP bertugas : a) melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan b/j sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak, b)menerima hasil pengadaan b/j setelah melalui pemeriksaan/pengujian, dan c) membuat dan menandatangani berita acara serah terima hasil pekerjaan.
Sementara PPK bertugas : a) melaksanakan kontrak dengan penyedia b/j, b) mengendalikan pelaksanaan kontrak, c) melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan b/j kepada PA/KPA, d) menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan b/j kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan, e)melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA dan f) menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan b/j.
Terakhir PA/KPA bertugas (diantaranya) : a) mengawasi pelaksanaan anggaran, b) menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an, c) mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh dokumen pengadaan b/j, d) serta pemberian sanksi apabila penyedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak secara bertanggungjawab setelah mendapat masukan dari PPK sesuai dengan ketentuan.
Tugas tersebut tidaklah mudah, menjelang berakhirnya tahun anggaran pengadaan b/j menjadi “rawan dan beresiko tinggi”, modus untuk “menyulap” seolah-olah realisasi pekerjaan fisik dan keuangan telah 100% perlu diwaspadai, sebuah pola lama yang sudah menjadi kebiasaan, tidak ada alasan legal yang membenarkan, demi mengejar tanggal tutup buku tahun anggaran, kelengkapan administratif didahulukan dan mengabaikan aspek faktual sebuah kontrak, menyatakan 100% diatas kertas bertandatangan, faktanya tidak sesuai bahkan mungkin baru 50%, walaupun dengan “iming-iming” janji akan diselesaikan per 31 Desember 2012, semuanya adalah pelanggaran, dan para pihak yang bersepakat, berkompromi, bahkan terlibat KKN atas perbuatan tersebut harus bertanggungjawab.
Kita berharap “pengadaan b/j yang memasuki pintu terakhir (bulan Desember 2012), konsistensi dan komitmen PPHP, PPK dan PA/KPA “bulat” pengadaan harus kredibel, akuntabel, bebas korupsi dan mensejahterakan, demi terciptanya good and clean governance di Bumi Antaluddin, semoga.

Selasa, 06 November 2012

LAMPU KUNING PENGADAAN (“Me-Warning” Pokja ULP, PPK & PPHP serta Penyedia dalam Pengadaan B/J) Oleh : Rakhmani, S.Sos.,M.Si

Pengadaan barang/jasa APBD Perubahan 2012 Kab. Hulu Sungai Selatan menyisakan waktu sekitar 2 bulan, setelah dikurangi proses pengadaan sekitar 15-30 hari kerja, tersisa pelaksanaan kontrak kurang lebih 30-45 hari kalender sebelum tutup buku akhir Desember 2012, untuk kemudian dilaksanakan serah terima barang. Suatu waktu yang tidak terbilang lama, kalau tidak disebut “singkat”. Singkatnya waktu yang tersedia membutuhkan sikap kehati-hatian para pihak dalam pengadaan, khususnya pokja ULP, PPK, PPHP maupun penyedia agar sesuai target yang ditetapkan. Ketidakcermatan dalam alokasi sumber daya, mekanisme dan prosedur berakibat pengadaan menjadi illegal, tidak akuntabel, tidak kredibel, dan kualitas barang/jasa yang dihasilkan buruk.
Pokja ULP yang memproses pengadaan dengan dasar Perpres 70/2012 sangat terbantu dengan alokasi waktu yang cukup singkat, khususnya untuk lelang sederhana/pemilihan langsung yang terbilang cukup besar pada pengadaan APBD Perubahan tersebut, hanya kisaran 15 hari telah jelas siapa pemenang dan berlanjut ke kontrak, tentu saja dengan tetap  memegang ketentuan yang berlaku dan menggunakan e-proc. Penyedia, yang terikat kontrak pengadaan dengan PPK perlu mengarahkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan kontrak, bahkan sampai 24 jam waktu kerja (jika perlu), dengan tetap mematuhi standar kualitas pekerjaan yang ditetapkan dalam dokumen kontrak, PPK memiliki kewajiban untuk memonitor pelaksanaan kontrak, bahkan meminta, percepatan penyelesaian pekerjaan, mengambil langkah hukum lainnya (denda dan atau putus kontrak serta mengusulkan black list) terhadap penyedia yang tidak taat kontrak dengan alasan yang tidak jelas, PPHP memiliki kewajiban untuk memeriksa, menguji semua barang/jasa yang telah dikerjakan penyedia, jangan pernah menandatangani berita acara serah terima barang kalau belum memeriksa dan mengujinya, dan kalau tidak sesuai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak, tidak melakukan “kompromi” dengan alasan tutup buku tahun anggaran, sehingga mempermudah pencairan uang kontrak, menandatangani berita acara padahal barang/jasa belum diperiksa dan diuji.  Apapun alasannya : a) proses pengadaan tidak taat hukum, b) pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dokumen kontrak, c) kualitas barang/jasa tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak, d) tidak tertib administrasi, mekanisme dan prosedur, semuanya merupakan pelanggaran, konsekuensinya : a) administrasi, b) perdata, dan atau c) pidana.
Semua pihak tentu berkewajiban agar pengadaan barang/jasa yang menjadi tanggungjawabnya berjalan efektif, efesien, legal, akuntabel, kredibel dan mensejahterakan masyarakat. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pengadaan melalui ULP dan LPSE atau diatas 200 juta tetapi juga untuk pengadaan langsung dan masih non-eproc, bagaimanapun tertib hukum menjadi acuan good and clean governance, melembagakan zona integritas, sehingga HSS bebas korupsi, dan pengadaan benar-benar mensejahterakan masyarakat, semoga.

Senin, 13 Agustus 2012

Dokumen Penawaran itu Rahasia?


Sebuah pertanyaan dan pernyataan menarik masuk melalui forum diskusi oleh seorang anggota pokja dan juga via japri oleh penyedia. Ini memicu keinginan untuk menelusuri lebih jauh. Pertanyaan dari pokja ini adalah bolehkah dokumen penawaran pemenang lelang diperlihatkan atau dipublikasikan kepada penyedia lain? Sedangkan pernyataan dari penyedia adalah kami berhak tahu dari sisi mana penyedia pemenang memiliki penawaran yang lebih baik dari kami. Ini sesuai dengan prinsip persaingan, terbuka dan transparansi!
Saya yakin dilapangan pasti lebih banyak argumen lain yang lebih hebat. Dan dari sisi Pokja tentu akan dilematis dan membingungkan.
Penulusuran paling dasar, dimulai dari mengupas unsur kerahasiaan dalam Perpres 54/2010 sebagai acuan dasar pengadaan barang/jasa pemerintah. Pertama setiap proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus menerapkan 7 prinsip pengadaan yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pasal 6 bagian etika pengadaan huruf b dan c berbunyi sebagai berikut :
  1. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  2. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
Pada huruf b disebutkan tentang “menurut sifatnya harus dirahasiakan”. Maka kalau dirunut  pasal 66 ayat 3 disebutkan: “Nilai total HPS bersifat terbuka dan tidak rahasia. Kemudian dalam penjelasan pasal 66 ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan nilai total HPS adalah hasil perhitungan seluruh volume pekerjaan dikalikan dengan Harga Satuan ditambah dengan seluruh beban pajak dan keuntungan. Rincian Harga Satuan dalam perhitungan HPS bersifat rahasia.”
Lampiran II Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang tentang BAHP kita juga menemukan kata rahasia yaitu “BAHP bersifat rahasia sampai dengan pengumuman pemenang”.
Setidaknya dua hal ini yang secara tegas disebutkan sifatnya rahasia. Dengan kesimpulan ini apakah berarti dokumen penawaran dari pemenang bersifat tidak rahasia?
Tentu kita tidak bisa serta merta mengambil kesimpulan. Perpres 54/2010 tidak terlepas dari peraturan lain yang lebih tinggi. Setidaknya ada dua peraturan setingkat Undang-Undang (UU) yang dapat dijadikan acuan yaitu UU no.14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Terkait dengan UU KIP apakah dokumen penawaran dari penyedia termasuk dalam kategori informasi publik? Karena pasal 1.b menyebutkan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Dengan pengertian ini maka jawabannya adalah Ya, dokumen penawaran termasuk informasi publik!  Alasannya dokumen penawaran menjadi informasi yang diterima oleh badan publik berkaitan dengan penyelenggaraan negara dalam hal ini pengadaan barang/jasa pemerintah.
Namun ketika ditelaah lagi pada pasal 2 ayat 4 terdapat ketentuan pengecualian yaitu Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Rinciannya ada pada pasal 6 ayat 1 bahwa Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Informasi yang dikecualikan, dalam pengadaan barang/jasa, ada pada ayat 3.b yaitu “informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat”.
Sampai disini sangat jelas bahwa dokumen penawaran dari penyedia tidak dapat diberikan kepada publik tanpa melalui proses memastikan terpenuhinya persyaratan yang diatur oleh undang-undang. Untuk itu penting  memperdalam maksud persaingan usaha tidak sehat menurut undang-undang.
UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menjadi acuan. Pasal 1 ayat 6 mendefinisikan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Kata kuncinya terdapat pada Pasal 23 yang menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Sebagai tambahan referensi Pedoman Penjelasan Pasal 23 menjabarkan bahwa yang disebut dengan rahasia perusahaan adalah informasi kegiatan usaha yang tidak pernah dibuka oleh pemiliknya kepada siapapun juga, kecuali kepada orang-orang yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha pemilik informasi.
Dari sisi ini maka dapat diambil satu analisa bahwa dokumen penawaran yang dikirimkan oleh penyedia merupakan informasi kegiatan usaha yang tidak dibuka kecuali kepada orang-orang yang berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya. Sehingga memenuhi syarat disebut rahasia perusahaan.
Dari runtutan ini pertanyaan bolehkah dokumen penawaran pemenang lelang diperlihatkan atau dipublikasikan kepada penyedia lain? Dapat dijawab dengan kata tidak boleh.
Disisi lain kepentingan setiap penyedia terkait informasi penawaran terbatas hanya pada nilai penawaran dan proses evaluasi yang dilakukan pokja melalui BAHP. Apabila terdapat hal yang tidak jelas atau tidak benar maka penyedia yang tidak terpilih sebagai pemenang dapat memanfaatkan hak sanggah atau sanggah banding bahkan aduan, gugatan perdata atau laporan pidana apabila memenuhi klausul pidana.