"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Rabu, 04 September 2013

ADMINISTRASI, PERDATA, PIDANA…?

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Berita dari Tanjung, Tabalong akhir Agustus 2013 lalu membuat heboh dunia pengadaan di Kalsel, apa sebab, “Pokja ULP ramai-ramai mundur” semua media cetak lokal memberitakan, bahkan ULP Tabalong mempertegasnya dengan melakukan jumpa pers di Aula Penghulu Rasyid Tanjung. Alasannya, bentuk solidaritas dan protes ketiadaan perlindungan hukum aparat pengadaan di tabalong sebagai akibat penetapan 5 (lima) anggotanya sebagai tersangka pada pengadaan dan pemasangan lampu pedestrian Tanjung Tengah, Hikun dan Tanjung Jangkung pada Distakober Tabalong, padahal menurut mereka,”kesalahan teman mereka tersebut karena kelalaian sehingga cukup berakibat administrasi semata, dan terlalu berat bila dipidanakan”.
Tulisan ini mencoba menelaah pengadaan dalam aspek hukum secara proporsional, sementara kasus diatas sebagai gambaran factual pengadaan dalam realita. Dalam perpres 54/2010 sebagaimana telah diubah dengan perpres 70/2012 pasal 118, menyatakan “Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP : a) dikenakan sanksi administrasi, b) dituntut ganti rugi, dan atau, c) dilaporkan secara pidana” dan kalau membuka website konsultasi pengadaan di LKPP, permasalahan hukum dalam pengadaan dibedakan dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : a) sebelum kontrak (termasuk selama proses pengadaan berlangsung) dan b) setelah kontrak (dimulai sejak pekerjaan pengadaan dilaksanakan).
Mari kita telaah pengadaan sebagai sebuah proses (secara sederhana) : a) perencanaan pengadaan, anggaran dan penerimaan hasil pekerjaan dari PPK (kewenangan PA/KPA), b) perencanaan pengadaan paket pekerjaan (HPS, Spek. Teknis, rancangan kontrak) (kewenangan PPK), c) pemilihan penyedia (kewenangan Pokja ULP), d) pelaksanaan pengadaan, pengendalian dan menyerahkan hasil kepada PA/KPA (kewenangan PPK), e. Penerimaan dan pemeriksaan Hasil Pekerjaan (kewenangan PPHP).
Mari kita soroti berkaitan erat kewenangan pokja ULP yang melakukan proses pemilihan penyedia (sebelum kontrak dilaksanakan), kata kuncinya “setiap anggota pokja dalam melakukan pemilihan penyedia “berkemungkinan” bisa a) benar/sesuai ketentuan yang berlaku atau b) salah/melanggar ketentuan yang berlaku, baik melanggar perpres, pelanggaran dokumen pengadaan, kesalahan prosedur dokumen pengadaan, KKN, pelanggaran persaingan sehat, dsb  (lihat pasal 83 perpres 54/2010 jo 70/2012,  baik sengaja maupun tidak disengaja,”, kalau a) yang terjadi PPK menerbitkan SPBJJ, kalau b) yang terjadi PPK dapat menolak menadatangani SPPBJ dan menyerahkan kasusnya kepada PA/KPA untuk diputuskan. Kalau PA/KPA sependapat dengan PPK maka PA/KPA menyatakan pelelangan gagal. Sebagai tindak lanjutnya, kalau aduan masyarakat atas pelanggaran prosedur dan atau KKN ternyata benar maka : a) dilakukan penggantian anggota ULP yang terlibat, b) anggota ULP yang terlibat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Selanjutnya apabila Pokja ULP salah/melakukan pelanggaran tetapi PPK tetap menyetujui menandatangani SPPBJ begitu juga PA/KPA  tidak ada upaya upaya penghentian pelelangan maka selain mengganti PA/KPA, PPK dan pokja ULP, semuanya yang terlibat juga dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan per-UU-an. Singkatnya, sebelum kontrak (selama proses pemilihan) pun bisa terjadi kesalahan/kelalaian/pelanggaran dan berakibat administrasi, ganti rugi dan atau pidana.
Bagaimana kalau setelah kontrak, pada umumnya penyelidikan tindak pidana korupsi dimulai karena adanya laporan masyarakat, baik karena ketidaksesuaian barang/jasa yang dihasilkan, adanya kerugian keuangan Negara, mark up atau fiktif, dan itu terjadi setelah pelaksanaan kontrak bahkan lazimnya kontrak telah selesai. Kalau pelanggaran tersebut terjadi maka para pihak yang terlibat bisa : a) sendiri atau b)“berjamaah” , baik penyedia barang/jasa, PPHP, PPK, PA/KPA, bahkan pokja ULP menanggung resikonya;
Melihat kasus diatas disidik oleh Tipikor Polda Kalsel, berarti “kemungkinan” paket tersebut telah kontrak/selesai kontrak dan ketentuan yang digunakan adalah UU No.31/1999 tentang pemberantasan tipikor jo UU No.20/2001, lihat salah satu pasalnya,”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta rupiah dan paling banyak Rp. 1 milyar rupiah (pasal 2 ayat 1)”. Sementara dalam penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yakni meskipun perbuatan  tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Bisa jadi, pokja tidak sengaja atau lalai dalam proses pemilihan penyedia, tetapi dengan pemilihan tersebut penyedia  yang terpilih (dimenangkan) tidak sesuai ketentuan, korupsi, menyerahkan barang/jasa tidak sesuai kontrak, dan merugikan keuangan Negara, berarti pokja dianggap “turut serta bersama-sama melawan hukum”, tindakan tersebut juga dapat merembet pada PPK, PPHP, PA/KPA. Hal ini bisa bertambah parah apabila “disengaja” dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pidanya penjara seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dipenjara dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 1 milyar (pasal 3 ayat 1), atau dari pengadaan tersebut terdapat transaksi  suap dan atau gratifikasi dan sejenisnya, singkatnya setelah kontrak pun bisa berkonsekuensi pidana. Artinya, baik sebelum maupun sesudah kontrak sama-sama berkemungkinan pidana (tidak bisa dibatasi administrasi saja), tetapi sebelum incract, tidak layak kita menghakimi, maka azas praduga tak bersalah tetap dikedepankan, sehingga biarlah pengadilan yang memutuskan.
Bagaimana di HSS, kita berharap pokja ULP melaksanakan pengadaan sesuai ketentuan yang berlaku, tetap memperhatikan tertib administrasi, tertib prosedur dan tertib hukum. Karena bagaimanapun, Negara kita adalah Negara hukum dan menurut konstitusi “setiap orang/warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan”. Konteks ini memberi penegasan bahwa setiap warga Negara tidak ada yang “bebas hukum”, sehingga baik kedudukan, sikap dan perilakunya bisa berakibat hukum, siapapun dan apapun kedudukannya.semoga kita diingatkan, amien.