"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Kamis, 13 Juni 2013

Perusahaan Pembangun Gedung RSUD Ulin Dicabut dari Daftar Hitam

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin menjatuhkan sanksi Black List kepada PT PP pada 16 Februari lalu. Dalam perjalanannya, RSUD Ulin dibawah kepemimpinan dr Suciati sebagai Pelaksana tugas direktur Rumah Sakit terbesar di Kalimantan ini mencabut sanksi Daftar Hitam pada PT PP.

Sesuai kontrak, pembangunan gedung kelas III lantai satu hingga lantai tiga dijadwalkan harus sudah selesai pada 27 Desember 2012 lalu, namun hingga perpanjangan waktu 50 hari, PP belum mampu menyelesaikannya. Total anggaran untuk pembangunan tiga lantai itu sebesar Rp 43 Miliar.

Pasca dicabutnya Black List terhadap PT Pembangunan Perumahan (PP) dalam proyek pembangunan gedung kelas III RSUD Ulin, memantik reaksi Gapensi Kalsel Aspekindo Kalsel dan DPD Asosiasi Aspal Beton Indonesia Kalsel.

Ketiga Asosiasi itu mengacu pada Perpres Nomor 54 tahun 2010 dan Perpres Nomor 70 tahun 2013 dan Peraturan LKPP Nomor 7 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam. Semua aturan yang disebutkannya itu tidak ada mengatur mencabut Black List.

Ketua Gapensi Kalsel, Edy Suryadi mengatakan, LKPP sudah mengatur dan menerbitkan aturan serta menyebarluaskannya seluruh Indonesia, tidak bisa dicabut. Namun jika Black List dicabut, menurutnya untuk apa adanya aturan perundang-undangan, hapus saja portal Black List dan kalau perlu bubarkan LKPP.

Ketua DPD Asosiasi Aspal Beton Indonesia Kalsel, Hermanius mengatakan, Black List adalah masalah hukum maka sudah ada Undang-undangnya yakni Perpres seharusnya ditaati. Pihaknya akan memertanyakan dasar hukum yang mana Black List bisa dicabut.

"Bahkan kalau perlu kami PTUN kan. Kalau hanya karena alasan kemanusiaan Black List boleh dibatalkan maka artinya tidak profesional dalam melaksanakan aturan yang mengatur tersebut, cabut saja semua aturan yang ada," katanya didampingi Ketua Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo), Ariandi Yanuar.

Humas PT PP, Fredi Siregar ketika dikonfirmasi mengatakan, setelah pihaknya berkonsultasi terlebih dahulu masalah legal hukum dan prosedur dengan instansi terkait. Atas dasar itulah maka Black List minta dicabut.

  • Penulis: Hasby
  • Editor: Halmien
  • Sumber: Banjarmasin Post
  • Selasa, 11 Juni 2013

    TERIMA KASIH !!???....

    sumber gambar : www.republika.co.id
    Budaya mengucapkan terima kasih atas bantuan orang lain adalah keniscayaan, karena kita adalah makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat,  karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu bekerjasama bahkan perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita masing-masing. Namun kalau dulu ucapan terima kasih diucapkan sebagai bentuk keihklasan dan bernilai religius, dimana hanya Sang Maha yang akan membalasnya, di era kekinian, ucapan terima kasih telah bergeser, bermotif ekonomi,  hal ini terjadi kentara di level birokrasi pemerintahan, bagaimana sebuah layanan, fasilitasi dan bantuan yang diberikan birokrat dibalas “bahkan kadang bersifat wajib” bagi masyarakat (kalangan pengusaha maupun masyarakat umum lainnya), bahkan antar birokrat sendiri kadang terjadi saling “berterima kasih” dengan embel-embel sejumlah uang, yang walaupun tidak besar, tetap saja, tidak dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
    Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah setiap pengusaha mau mencairkan kegiatan proyek  pengadaan barang/jasa yang telah selesai dilaksanakan (menyogok oknum instansi tertentu agar dipercepat proses pencairan tersebut atau bila urusan cepat diselesaikan kemudian pengusaha tersebut memberikan amplop berisi “duit” sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau pernahkah kita ketika berurusan dengan oknum tertentu, khususnya untuk pencairan sesuatu, mengurus KTP, kartu keluarga, perijinan lainnya, kemudian menyerahkan uang ucapan terima kasih, selain biaya resmi, karena “merasa dibantu, merasa tidak enak, merasa kada nyaman, takutan bila kada mambari, kaina dipersulit bila mengurus kembali”, maka selayaknya kita semua mereposisi ulang makna “pakta integritas, zona bebas korupsi dan tunjangan kehormatan yang sudah kita terima,” tidak saja kita sebagai pejabat di top manajemen,  maupun pelaku pelayanan, karena melakukan pembiaran semua itu terjadi atau bahkan ikut  terlibat melakukan, apakah perlu kita menyalahkan dan selalu menyebut “ah itu kan ulah oknum”, tidak bijak rasanya, kita bersandar pada kata itu, pernahkah kita menyelami permasalahan tersebut sampai ke akarnya, penyebabnya, latar belakangnya, atau kita semua jangan-jangan memiliki andil menciptakan berlangsungnya budaya tersebut secara turun-temurun, karena system yang dibuat, tidak memungkinkan kita melakukan perubahan, bahkan orang yang mau dan bermotivasi untuk melakukan perubahan dianggap “orang gila” karena “melawan arus”, bahkan kemudian “kada dikawani”, dijauhkan dan akhirnya terasing, karena birokrasi sudah disusupi pemikiran, sikap dan perilaku menjadikan uang Negara, uang orang lain, uang teman , sebahagiaannya merasa “ampunku”, karenanya siapapun orangnya “wajib berterima kasih” dengan imbalan tertentu.
    Meminjam istilah Karx marx, terjadi penghisapan antara kelas dilayani oleh yang melayani, itu semua karena godaan hidup materialis dan hedonis, keduniaan yang niscaya, hanya ajal saja yang mampu menghentikannya, sadarkah kita???  Kita perlu merenung ulang dan memahami secara penuh kesadaran dan bertanya kembali apa itu gratifikasi, bercermin pada  UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi diartikan Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (penjelasan Pasal 12B), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,( Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001) padahal didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, b) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, selain itu berdasarkan PP 53/2010 tentang disiplin pns, pasal 4 angka 8 : setiap pns dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaannya, masih ada lagi aturan dalam kode etik pns, dan pernyataan kesanggupan melaksanakan pakta integritas, sehingga pelanggaran terhadap hal tersebut jelas berkonsekuensi sanksi, bagi siapapun pelakunya. Makanya tidak salah kemudian untuk pemberantasan korupsi demi   mewujudkan good and clean governance, KPK menerbitkan  himbauan terkait gratifikasi, sebagaimana suratnya Nomor. B.143/01-13/01/2013 tertanggal 21 januari 2013 kepada pejabat dan  pegawai agar tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnyasesuai pasal 12b ayat 1 UU 20/2001tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti : a)uang/barang/fasilitas lainnyadalam rangka mempengaruhi kebijakan / keputusan / perlakuan pemangku kepentingan, b) uang/barang/fasilitas  lainnya berapapun nilainya dalam setiap pelayanan terkait dengan tugas, wewenang atau tanggung jawabnya, c) uang/barang/ fasilitas lainnya bagi pegawai / pengawas / tamu selama kunjungan dinas, dan d) uang/barang/ fasilitas lainnyadalam proses penerimaan / promosi / mutasi pejabat / pegawai.
    Karenanya, mulai sekarang, marilah kita kembangkan “budaya memberi” hanya untuk mereka yang membutuhkan, yaitu : fakir miskin, anak yatim dan orang terlantar, jompo, janda-janda terlantar dan masyarakat kekurangan lainnya, semoga kita disadarkan…amien.

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

    UNTUK KEHIDUPAN KEDUA

    Sebagai ummat beragama, kita tentu tahu dan yakin bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, sementara akherat kekal, sayangnya walaupun kita tahu dan yakin, karena dunia yang bersifat “saat ini” lebih “real” dirasakan dan dinikmati dibanding “akherat” yang “unreal” dan cuma bisa dibayangkan, sehingga banyak diantara kita “terjebak” oleh ke-realitaan dunia yang memang “nikmat” dibanding “ketidaknyataan” akherat. Dalam tataran religius, dalam konteks ini, kita masih berkutat dalam implementasi ibadah badaniah semata, padahal sejatinya kita berlomba mencapai sufistis religius, dimana alquran dan sunah sebagai tuntunan, untuk badaniah, hati dan ruh kita bersujud kepada-Nya.
    Tapi diera modern dengan liberalism yang mengejawantah, melalui pola hidup materialis dan hedonis, semua itu justru menjadi suatu kenaifan, bagaimana sufistis religius mampu menafkahi raga, karena nafsu adalah panglima, jiwa dan ruh terpinggirkan, karenanya banyak diantara kita justru “bermain-main” kalau tidak mau disebut “berjudi” dengan hidupnya, “dengan dunianya,” parahnya justru banyak dilakukan oleh kalangan terdidik, terpelajar dan beragama, yang justru adalah manusia-manusia tahu, yakin dan religius. Ini menjadi jawaban tesis “mengapa orang terdidik, terpelajar dan beragama justru banyak korup”.
    Aspek duniawi  yang materialis dan hedonis-lah yang menuntun mereka untuk memilih jalan berliku, ya…mereka tahu salah dan melanggar tapi tetap dilakukan, tahu dosa tapi dikerjakan, tahu neraka tetapi tetap dituju, walaupun setiap saat mereka tetap beribadah dan berzikir, tetapi semuanya hanyalah “rutinitas tanpa makna”, walaupun Tuhan melihat, mereka menganggap tidak ada, mereka dibutakan nikmat dunia bernama “syahwat tahta, harta dan wanita”, karena hidup harus dibiayai, hidup harus dinikmati, hidup hanya sekali…mereka belum menemukan hidup untuk disyukuri, hidup untuk mengabdi kepada-Nya, hidup adalah arena “saving” untuk kehidupan kekal di akherat kelak, yang nikmatnya tak tertandingkan. Inilah mengapa, dalam pengadaan barang/jasa kadang muncul usaha terstruktur dan menyimpang. Tidak sesuai prosedur, pihak yang tidak berwenang sebagai pelaku, penggunaan otoritas yang menyimpang, mark up dan fiktif, suap, pungli serta gratifikasi, dan sebagainya…simbolisme pribadi korup. 
    Untuk pengadaan barang/jasa secara manual sebagaimana dilakukan sebelum tahun 2011-an hal demikian banyak ditemukan, bahkan sudah menjadi rahasia umum istilah “10% dari nilai kontrak” menjadi hak pemilik pekerjaan, yang kalau serakah nilai itu bisa menjadi milik seorang pimpinan SKPD, dan kalau mau berjamaah tentu dibagi secara internal dengan besaran sesuai tinggi rendahnya kedudukan seseorang, sehingga dulu terlibat dalam proyek menjadi rebutan semua orang, alasan “lahan basah” dan kemugkinan bertambahnya pundi-pundi uang adalah keniscayaan. Sayangnya, kini  dengan penerapan pengadaan secara elektronik (e-proc), semua bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan, termasuk perilaku korup ditutup rapat, sehingga bisa jadi pengadaan barang/jasa, khususnya selain pengadaan langsung “menjadi tidak menarik lagi” untuk dikerjakan, inilah yang menjadi jawaban utama “mengapa pengadaan barang/jasa selain pengadaan langsung begitu lambat berproses”, tetapi sebaliknya untuk pengadaan langsung dengan nilai sampai dengan 200 juta, justru kebalikannya, bahkan belum diumumkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) proses pengadaannya telah dilakukan. “sebuah ladang baru korupsi kecil-kecilan” bisa dilakukan, parahnya jumlahnya bila  diakumulasikan sangat besar pada suatu SKPD. Semoga kita senantiasa menjadi manusia cerdas dan religius, kalau pun belum, mulailah dengan “iqra…bacalah” karena dengan itu kita terhindar “di bui” karena kebodohan, tersesat oleh dunia yang memabukkan, dan menjadi pribadi cerdas dan religius, beragama yang sarat makna, beramal secara ikhlas, bersyukur atas nikmat dan tuntunan-Nya supaya taat hukum, baik hukum manusia maupun hukum-Nya, karena dengan itu pintu korupsi telah kita tutup rapat-rapat, hanya  mengabdi dan  mengharap keridhaan-Nya serta berlomba memperbanyak bekal untuk kehidupan kedua diakherat nanti, amien.

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

    200 JUTA NAN “LEJAT”

    Perubahan Perpres 54/2010 menjadi Perpres 70/2012 dimana pengadaan barang/jasa melalui pengadaan langsung dapat dilakukan sampai dengan 200 juta (semula hanya sampai 100 juta) membuat beberapa pihak yang merasa “keenakan” melakukan pengadaan menjadi “beliuran”. 
    Bagaimana “kada beliuran” lebih dari 70% dari pengadaan barang/jasa pada setiap SKPD adalah pengadaan langsung, mulai dari ribuan sampai ratusan juta, sementara saat ini pengadaan langsung tidak melalui “e-procurement” sehingga sangat mudahnya untuk “bermain-main” menggunakan uang rakyat tersebut, pilihannya adalah : menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara benar” atau menyediakan barang/jasa untuk rakyat “secara tidak benar.”
    Sayangnya, banyak diantara birokrat yang memilih untuk menyediakan barang/jasa untuk rakyat secara tidak benar. Modusnya antara lain : a) PA/KPA “superior” dalam pengadaan barang/jasa, memilih penyedia bahkan sampai melakukan pembelian (PPK dan PP hanya kebagian menyelesaikan administratif pengadaan b/j), dibeberapa SKPD peran PPTK bahkan juga sampai mengatur pemilihan penyedia bahkan bertindak ganda “menjadi penyedia” modusnya “meminjam CV”, yang lebih “soft” melimpahkan pengadaan kepada kerabat dan konco-nya.
    Mengapa hal ini masih terjadi? Jawabannya singkat, karena ekonomi.
    Beberapa PA/KPA merasa keenakan dengan pola lama, dimana beberapa kegiatan di SKPDnya dapat menjadi “ATM” bersama maupun pribadi, baik untuk kepentingan kelompok maupun personal, sehingga perubahan pengadaan b/j kearah elektronik, memasung kreativitas untuk mendapatkan duit haram tersebut secara melimpah, revisi besaran nominal pengadaan langsung sebagaimana termaktub dalam Perpres 70/2012 dengan nominal sampai dengan 200 juta menjadi angin segar untuk kembali “bermain-main” dengan uang rakyat secara illegal. Padahal regulasi tersebut diupayakan untuk perubahan menyeluruh dalam pengadaan, dilakukan para pihak sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, agar pengadaan menjadi  lebih baik, legal, kredibel, akuntabel, bebas korupsi dan mensejahterakan masyarakat. Sejatinya, perubahan tersebut telah berlangsung lebih dari dua tahun membuat kita tersadar, bahkan fakta menunjukkan “bermain-main” dengan pengadaan b/j, banyak birokrat tersandera secara hukum dan sosial, berselimut dinginnya bui, mungkin saat ini “anda” masih terselamatkan karena “belum tercium” aparat berwenang, tapi “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, bersiaplah karena penyesalan pasti datangnya di belakangan…, pada saat itu  “duit” berapapun banyaknya…tak bisa menyelamatkan, karena sanksinya, tidak saja pidana, tetapi juga sanksi sosial dan sanksi dari Tuhan…

    Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si