Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik APBD murni Kab. HSS tahun 2012 telah ditutup pada 31 Agustus 2012 lalu, tugas berat selanjutnya pengadaan barang/jasa APBD perubahan 2012 menanti untuk diproses lebih lanjut. Banyak cerita dengan penerapan e-proc, suka tidak suka, mendukung dan menolak, bahkan perilaku aneh bermunculan dari yang “gaptek”, mengatasnamakan “si Anu”, bisakah e-proc diatur?, sampai yang menentang keras dan menganggap e-proc sulit, rumit, tidak transparan, tidak berkualitas karena “penawaran banting harga”, dan sebagainya, namun berkat usaha dan kerja keras, e-proc membuktikan sebaliknya. Dalam e-proc : a) para pihak wajib familiar dan aplikatif TI karenanya diklat menjadi solusi dan telah difasilitasi LPSE secara gratis, b) “si Anu” tidak bisa lagi dijadikan media untuk memenangkan lelang “katabelece tidak berlaku dalam SPSE”, c) lelang dalam e-proc tidak bisa diatur-atur, dimanipulasi, direkayasa, dan sebagainya karena semua aktivitas, dokumen lelang, dan sebagainya terekam dan tersimpan dalam sistem yang terintegrasi secara nasional, d) e-proc mudah dan sederhana dalam pengoperasiannya, sangat transparan karena semua pihak dapat melihat dan menjadi pelaku dengan hak dan kewajiban yang sama, e) berkualitas, sebab spesifikasi teknis menjadi acuan bersama, kalau harga dibanting pun kualitas tetap menjadi nomor 1, makanya para pihak Pokja ULP, PPK, PPHP sampai PA/KPA wajib tahu hak dan kewajibannya sehingga dapat melaksanakan kewajiban, memonitor, mengevaluasi paket pelelangan secara komprehensif yang menjadi tanggungjawabnya. Yang lebih penting dari penerapan e-proc adalah : a) efesiensi anggaran dapat dicapai, APBD murni tahun 2012 lelang e-proc mampu menghemat lebih dari 6 milyar rupiah, b) berkontribusi bagi upaya mewujudkan dan melembagakan zona integritas, HSS yang bebas korupsi, c) langkah besar mewujudkan good and clean governance di Kab. HSS, d) yang utama adalah e-proc yang kredibel dan berkualitas diharapkan mampu mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Kab. HSS.
Langkah maju tersebut ternyata belum cukup untuk membuka pikiran bagi sebagian kalangan, yang menganggap e-proc sebagai “sebuah musibah”, dan non e-proc (lelang manual) lebih baik. Padahal dengan non e-proc : a) moment “face to face” antara penyedia dan birokrat pemerintah dalam pengadaan menjadi ladang subur perilaku korup para pihak dalam pengadaan, walaupun dengan cara ilegal dan tidak syah, dengan atas nama 10% atau apapun namanya untuk pemilik paket pelelangan, b) sudah menjadi rahasia umum, banyak ditemukan, birokrat berperan ganda dalam pengadaan, sebagai PPK dan sekaligus penyedia, sehingga dapat men-setting pengadaan sesuai kehendak pribadi/SKPDnya, c) dengan non e-proc, penyedia harus siap merogoh kocek dalam-dalam untuk para pihak yang terlibat dalam pengadaan kalau mau semua urusannya lancar, hal ini membawa konsekuensi ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan sehingga jangan heran uang anggarannya tinggal 50% untuk pelaksanaan, selain menurunkan kualitas juga menjadi ladang subur perilaku pungli, pemerasan (tukarkan tiket pang kawal handak ka jakarta nah..), dan perilaku menyimpang lainnya. Dengan non e-proc semuanya berujung pada perilaku korup yang bermotif ekonomi dan sejatinya wajib diberantas dan diperangi secara bersama-sama.
Sayangnya, hal tersebut mendapat ujian yang cukup berat, bagaimana tidak, berlakunya Perpres 70/2012 sebagai perubahan kedua tentang pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi kabar gembira bagi penyuka perilaku korup, dimana dengan ambang batas pengadaan langsung sampai dengan 200 juta menjadi lahan empuk para pihak yang tidak suka e-proc, karena memang sampai saat ini sistem belum mengakomodir model pemilihan dimaksud, yang sayangnya lagi jumlahnya justru lebih besar dibanding dengan paket pelelangan diatas 200 juta. Indikasinya, a) jauh sebelum Perpres 70/2012 terbit sudah ramai ditanyakan kapan pemberlakuannya, baik oleh birokrat maupun penyedia, bahkan ada yang sampai berniat menarik pengadaan yang mau di e-proc-kan b) idiom “kalau bisa dibawah 200 juta” kenapa harus diatasnya, memberi sinyal pelelangan non e-proc menggejala ke arah menyimpang.
Bagaimana solusinya, alternatif kebijakan yang diterapkan dengan mainstream perang terhadap korupsi karenanya langkah yang dapat diambil adalah : a) LKPP perlu memperbaharui sistem pengadaan secara elektronik, memantapkan e-purcahing (pembelian langsung) dan membuat pengadaan langsung ke dalam SPSE, b) regulasi di daerah perlu memantapkan pengendalian, monitoring dan evaluasi pengadaan langsung semua SKPD, yang sampai saat ini belum ada, sebagaimana telah dipertanyakan legislatif, penggunaan unit organisasi yang ada, yang membidangi atau membentuk unit khusus dapat diefektifkan untuk kegiatan ini, c) pelembagaan zona integritas, wilayah bebas korupsi menjadi media formal meminimalisir perilaku korup dalam pengadaan, khususnya pengadaan langsung di semua SKPD, termasuk adanya reward and punishment yang tegas dan jelas terhadap para pelakunya.
Kesemuanya itu tentu terpulang kepada kita secara pribadi maupun kelembagaan, bagaimanapun sistem dibuat sesempurna mungkin, kalau memang bermental “maling”, tetap saja korupsi menjadi pilihan untuk memenuhi kekayaan dan gaya hidup hedonis metropolitan, yang sayangnya tidak pernah akan tercukupkan, walaupun penjara adalah konsekuensinya, kecuali hayatmu dicabutkan oleh-Nya, semoga kita tidak termasuk orang yang demikian. Akhirnya, kita berharap, Perpres 70/2012 yang secara aplikatif diterapkan pada APBD perubahan 2012, e-proc maupun non e-proc, semangat kita tetap satu bersama-sama kita memerangi korupsi dalam pengadaan barang/jasa, demi HSS yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih sejahtera, karena kita ingin HSS mandiri, unggul dan religius, amien.
Langkah maju tersebut ternyata belum cukup untuk membuka pikiran bagi sebagian kalangan, yang menganggap e-proc sebagai “sebuah musibah”, dan non e-proc (lelang manual) lebih baik. Padahal dengan non e-proc : a) moment “face to face” antara penyedia dan birokrat pemerintah dalam pengadaan menjadi ladang subur perilaku korup para pihak dalam pengadaan, walaupun dengan cara ilegal dan tidak syah, dengan atas nama 10% atau apapun namanya untuk pemilik paket pelelangan, b) sudah menjadi rahasia umum, banyak ditemukan, birokrat berperan ganda dalam pengadaan, sebagai PPK dan sekaligus penyedia, sehingga dapat men-setting pengadaan sesuai kehendak pribadi/SKPDnya, c) dengan non e-proc, penyedia harus siap merogoh kocek dalam-dalam untuk para pihak yang terlibat dalam pengadaan kalau mau semua urusannya lancar, hal ini membawa konsekuensi ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan sehingga jangan heran uang anggarannya tinggal 50% untuk pelaksanaan, selain menurunkan kualitas juga menjadi ladang subur perilaku pungli, pemerasan (tukarkan tiket pang kawal handak ka jakarta nah..), dan perilaku menyimpang lainnya. Dengan non e-proc semuanya berujung pada perilaku korup yang bermotif ekonomi dan sejatinya wajib diberantas dan diperangi secara bersama-sama.
Sayangnya, hal tersebut mendapat ujian yang cukup berat, bagaimana tidak, berlakunya Perpres 70/2012 sebagai perubahan kedua tentang pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi kabar gembira bagi penyuka perilaku korup, dimana dengan ambang batas pengadaan langsung sampai dengan 200 juta menjadi lahan empuk para pihak yang tidak suka e-proc, karena memang sampai saat ini sistem belum mengakomodir model pemilihan dimaksud, yang sayangnya lagi jumlahnya justru lebih besar dibanding dengan paket pelelangan diatas 200 juta. Indikasinya, a) jauh sebelum Perpres 70/2012 terbit sudah ramai ditanyakan kapan pemberlakuannya, baik oleh birokrat maupun penyedia, bahkan ada yang sampai berniat menarik pengadaan yang mau di e-proc-kan b) idiom “kalau bisa dibawah 200 juta” kenapa harus diatasnya, memberi sinyal pelelangan non e-proc menggejala ke arah menyimpang.
Bagaimana solusinya, alternatif kebijakan yang diterapkan dengan mainstream perang terhadap korupsi karenanya langkah yang dapat diambil adalah : a) LKPP perlu memperbaharui sistem pengadaan secara elektronik, memantapkan e-purcahing (pembelian langsung) dan membuat pengadaan langsung ke dalam SPSE, b) regulasi di daerah perlu memantapkan pengendalian, monitoring dan evaluasi pengadaan langsung semua SKPD, yang sampai saat ini belum ada, sebagaimana telah dipertanyakan legislatif, penggunaan unit organisasi yang ada, yang membidangi atau membentuk unit khusus dapat diefektifkan untuk kegiatan ini, c) pelembagaan zona integritas, wilayah bebas korupsi menjadi media formal meminimalisir perilaku korup dalam pengadaan, khususnya pengadaan langsung di semua SKPD, termasuk adanya reward and punishment yang tegas dan jelas terhadap para pelakunya.
Kesemuanya itu tentu terpulang kepada kita secara pribadi maupun kelembagaan, bagaimanapun sistem dibuat sesempurna mungkin, kalau memang bermental “maling”, tetap saja korupsi menjadi pilihan untuk memenuhi kekayaan dan gaya hidup hedonis metropolitan, yang sayangnya tidak pernah akan tercukupkan, walaupun penjara adalah konsekuensinya, kecuali hayatmu dicabutkan oleh-Nya, semoga kita tidak termasuk orang yang demikian. Akhirnya, kita berharap, Perpres 70/2012 yang secara aplikatif diterapkan pada APBD perubahan 2012, e-proc maupun non e-proc, semangat kita tetap satu bersama-sama kita memerangi korupsi dalam pengadaan barang/jasa, demi HSS yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih sejahtera, karena kita ingin HSS mandiri, unggul dan religius, amien.
0 komentar:
Posting Komentar