"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Selasa, 11 Juni 2013

TERIMA KASIH !!???....

sumber gambar : www.republika.co.id
Budaya mengucapkan terima kasih atas bantuan orang lain adalah keniscayaan, karena kita adalah makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat,  karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu bekerjasama bahkan perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita masing-masing. Namun kalau dulu ucapan terima kasih diucapkan sebagai bentuk keihklasan dan bernilai religius, dimana hanya Sang Maha yang akan membalasnya, di era kekinian, ucapan terima kasih telah bergeser, bermotif ekonomi,  hal ini terjadi kentara di level birokrasi pemerintahan, bagaimana sebuah layanan, fasilitasi dan bantuan yang diberikan birokrat dibalas “bahkan kadang bersifat wajib” bagi masyarakat (kalangan pengusaha maupun masyarakat umum lainnya), bahkan antar birokrat sendiri kadang terjadi saling “berterima kasih” dengan embel-embel sejumlah uang, yang walaupun tidak besar, tetap saja, tidak dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah setiap pengusaha mau mencairkan kegiatan proyek  pengadaan barang/jasa yang telah selesai dilaksanakan (menyogok oknum instansi tertentu agar dipercepat proses pencairan tersebut atau bila urusan cepat diselesaikan kemudian pengusaha tersebut memberikan amplop berisi “duit” sebagai bentuk ucapan terima kasih, atau pernahkah kita ketika berurusan dengan oknum tertentu, khususnya untuk pencairan sesuatu, mengurus KTP, kartu keluarga, perijinan lainnya, kemudian menyerahkan uang ucapan terima kasih, selain biaya resmi, karena “merasa dibantu, merasa tidak enak, merasa kada nyaman, takutan bila kada mambari, kaina dipersulit bila mengurus kembali”, maka selayaknya kita semua mereposisi ulang makna “pakta integritas, zona bebas korupsi dan tunjangan kehormatan yang sudah kita terima,” tidak saja kita sebagai pejabat di top manajemen,  maupun pelaku pelayanan, karena melakukan pembiaran semua itu terjadi atau bahkan ikut  terlibat melakukan, apakah perlu kita menyalahkan dan selalu menyebut “ah itu kan ulah oknum”, tidak bijak rasanya, kita bersandar pada kata itu, pernahkah kita menyelami permasalahan tersebut sampai ke akarnya, penyebabnya, latar belakangnya, atau kita semua jangan-jangan memiliki andil menciptakan berlangsungnya budaya tersebut secara turun-temurun, karena system yang dibuat, tidak memungkinkan kita melakukan perubahan, bahkan orang yang mau dan bermotivasi untuk melakukan perubahan dianggap “orang gila” karena “melawan arus”, bahkan kemudian “kada dikawani”, dijauhkan dan akhirnya terasing, karena birokrasi sudah disusupi pemikiran, sikap dan perilaku menjadikan uang Negara, uang orang lain, uang teman , sebahagiaannya merasa “ampunku”, karenanya siapapun orangnya “wajib berterima kasih” dengan imbalan tertentu.
Meminjam istilah Karx marx, terjadi penghisapan antara kelas dilayani oleh yang melayani, itu semua karena godaan hidup materialis dan hedonis, keduniaan yang niscaya, hanya ajal saja yang mampu menghentikannya, sadarkah kita???  Kita perlu merenung ulang dan memahami secara penuh kesadaran dan bertanya kembali apa itu gratifikasi, bercermin pada  UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi diartikan Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (penjelasan Pasal 12B), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,( Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001) padahal didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, b) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, selain itu berdasarkan PP 53/2010 tentang disiplin pns, pasal 4 angka 8 : setiap pns dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaannya, masih ada lagi aturan dalam kode etik pns, dan pernyataan kesanggupan melaksanakan pakta integritas, sehingga pelanggaran terhadap hal tersebut jelas berkonsekuensi sanksi, bagi siapapun pelakunya. Makanya tidak salah kemudian untuk pemberantasan korupsi demi   mewujudkan good and clean governance, KPK menerbitkan  himbauan terkait gratifikasi, sebagaimana suratnya Nomor. B.143/01-13/01/2013 tertanggal 21 januari 2013 kepada pejabat dan  pegawai agar tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnyasesuai pasal 12b ayat 1 UU 20/2001tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti : a)uang/barang/fasilitas lainnyadalam rangka mempengaruhi kebijakan / keputusan / perlakuan pemangku kepentingan, b) uang/barang/fasilitas  lainnya berapapun nilainya dalam setiap pelayanan terkait dengan tugas, wewenang atau tanggung jawabnya, c) uang/barang/ fasilitas lainnya bagi pegawai / pengawas / tamu selama kunjungan dinas, dan d) uang/barang/ fasilitas lainnyadalam proses penerimaan / promosi / mutasi pejabat / pegawai.
Karenanya, mulai sekarang, marilah kita kembangkan “budaya memberi” hanya untuk mereka yang membutuhkan, yaitu : fakir miskin, anak yatim dan orang terlantar, jompo, janda-janda terlantar dan masyarakat kekurangan lainnya, semoga kita disadarkan…amien.

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

0 komentar:

Posting Komentar