"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Selasa, 11 Juni 2013

UNTUK KEHIDUPAN KEDUA

Sebagai ummat beragama, kita tentu tahu dan yakin bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, sementara akherat kekal, sayangnya walaupun kita tahu dan yakin, karena dunia yang bersifat “saat ini” lebih “real” dirasakan dan dinikmati dibanding “akherat” yang “unreal” dan cuma bisa dibayangkan, sehingga banyak diantara kita “terjebak” oleh ke-realitaan dunia yang memang “nikmat” dibanding “ketidaknyataan” akherat. Dalam tataran religius, dalam konteks ini, kita masih berkutat dalam implementasi ibadah badaniah semata, padahal sejatinya kita berlomba mencapai sufistis religius, dimana alquran dan sunah sebagai tuntunan, untuk badaniah, hati dan ruh kita bersujud kepada-Nya.
Tapi diera modern dengan liberalism yang mengejawantah, melalui pola hidup materialis dan hedonis, semua itu justru menjadi suatu kenaifan, bagaimana sufistis religius mampu menafkahi raga, karena nafsu adalah panglima, jiwa dan ruh terpinggirkan, karenanya banyak diantara kita justru “bermain-main” kalau tidak mau disebut “berjudi” dengan hidupnya, “dengan dunianya,” parahnya justru banyak dilakukan oleh kalangan terdidik, terpelajar dan beragama, yang justru adalah manusia-manusia tahu, yakin dan religius. Ini menjadi jawaban tesis “mengapa orang terdidik, terpelajar dan beragama justru banyak korup”.
Aspek duniawi  yang materialis dan hedonis-lah yang menuntun mereka untuk memilih jalan berliku, ya…mereka tahu salah dan melanggar tapi tetap dilakukan, tahu dosa tapi dikerjakan, tahu neraka tetapi tetap dituju, walaupun setiap saat mereka tetap beribadah dan berzikir, tetapi semuanya hanyalah “rutinitas tanpa makna”, walaupun Tuhan melihat, mereka menganggap tidak ada, mereka dibutakan nikmat dunia bernama “syahwat tahta, harta dan wanita”, karena hidup harus dibiayai, hidup harus dinikmati, hidup hanya sekali…mereka belum menemukan hidup untuk disyukuri, hidup untuk mengabdi kepada-Nya, hidup adalah arena “saving” untuk kehidupan kekal di akherat kelak, yang nikmatnya tak tertandingkan. Inilah mengapa, dalam pengadaan barang/jasa kadang muncul usaha terstruktur dan menyimpang. Tidak sesuai prosedur, pihak yang tidak berwenang sebagai pelaku, penggunaan otoritas yang menyimpang, mark up dan fiktif, suap, pungli serta gratifikasi, dan sebagainya…simbolisme pribadi korup. 
Untuk pengadaan barang/jasa secara manual sebagaimana dilakukan sebelum tahun 2011-an hal demikian banyak ditemukan, bahkan sudah menjadi rahasia umum istilah “10% dari nilai kontrak” menjadi hak pemilik pekerjaan, yang kalau serakah nilai itu bisa menjadi milik seorang pimpinan SKPD, dan kalau mau berjamaah tentu dibagi secara internal dengan besaran sesuai tinggi rendahnya kedudukan seseorang, sehingga dulu terlibat dalam proyek menjadi rebutan semua orang, alasan “lahan basah” dan kemugkinan bertambahnya pundi-pundi uang adalah keniscayaan. Sayangnya, kini  dengan penerapan pengadaan secara elektronik (e-proc), semua bentuk penyalahgunaan dan penyimpangan, termasuk perilaku korup ditutup rapat, sehingga bisa jadi pengadaan barang/jasa, khususnya selain pengadaan langsung “menjadi tidak menarik lagi” untuk dikerjakan, inilah yang menjadi jawaban utama “mengapa pengadaan barang/jasa selain pengadaan langsung begitu lambat berproses”, tetapi sebaliknya untuk pengadaan langsung dengan nilai sampai dengan 200 juta, justru kebalikannya, bahkan belum diumumkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) proses pengadaannya telah dilakukan. “sebuah ladang baru korupsi kecil-kecilan” bisa dilakukan, parahnya jumlahnya bila  diakumulasikan sangat besar pada suatu SKPD. Semoga kita senantiasa menjadi manusia cerdas dan religius, kalau pun belum, mulailah dengan “iqra…bacalah” karena dengan itu kita terhindar “di bui” karena kebodohan, tersesat oleh dunia yang memabukkan, dan menjadi pribadi cerdas dan religius, beragama yang sarat makna, beramal secara ikhlas, bersyukur atas nikmat dan tuntunan-Nya supaya taat hukum, baik hukum manusia maupun hukum-Nya, karena dengan itu pintu korupsi telah kita tutup rapat-rapat, hanya  mengabdi dan  mengharap keridhaan-Nya serta berlomba memperbanyak bekal untuk kehidupan kedua diakherat nanti, amien.

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

0 komentar:

Posting Komentar