"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Senin, 15 Juli 2013

JANGAN ZALIM!

Saya pernah mendapati seorang birokrat mengatakan (kurang lebih) “apapun yang kamu lakukan, akulah yang menentukan,” birokrat itu mengatakan bahkan sambil membusungkan dada, yang bersangkutan telah melakukan “Power tends to corrupct”,, entahlah…yang jelas saya ketahui yang bersangkutan orang terpelajar (karena memiliki pendidikan tinggi), religius (karena mentaati perintah agama, shalat, mengaji, puasa, dan sebagainya, bahkan kadang-kadang berubah menjadi pemuka agama), saya akui posisinya saat itu, dia berada di atas saya, dan mungkin karena ingin menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki otoritas terhadap diri dan pikiran saya…sayangnya yang bersangkutan lupa, bahwa ada Dia Yang Maha, diatas segalanya, pemilik otoritas diri, pikiran, jiwa bahkan nyawa kita, saya hanya berharap yang bersangkutan disadarkan, semoga.
Mungkin pengalaman tersebut pernah anda lakukan atau anda alami, karena posisi yang berbeda, kadang kita merasa diatas segalanya, dan mengabaikan dan tidak menganggap kehadiran orang lain menjadi bagian dari “kekitaan” sebagai manusia yang ditakdirkan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, pembeda sejati hanyalah “taqwa”.. sesama birokrat, di semua level tingkatan hirarki, terhadap masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas, bahkan terhadap binatang dan alam sekitar sekalipun. Karena kita semua akan diminta pertanggungjawaban dihadapan-Nya,
Kalau anda merasa berkuasa dan zalim terhadap orang lain, segeralah tinggalkan, karena kita makhluk sosial, yang hidup memerlukan bantuan orang lain, makanya perlu kerjasama dan kebersamaan, sehingga tercapai tujuan bersama, berbangsa dan bernegara.
Hirarki diciptakan untuk mewujudkan keteraturan, bukan untuk berbuat zalim. Hirarki diciptakan untuk memberi ruang “siapa bertanggungjawab apa” sehingga akan lahir optimalisasi dan efesiensi sumber daya untuk efektivitas tujuan organisasi berpemerintah daerah.
Bukan saatnya lagi menciptakan “ketakutan” dan “tunjuk tangan” dalam berpemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, birokrat bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani “melayani dengan hati”. Pelayanan yang lahir dari hati, pada akhirnya menumbuhkan kebersamaan, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab bersama, yang kemudian melahirkan partisipasi berkesadaran, karena kita semua adalah bagian “kekitaan” bernama Hulu Sungai Selatan.
Dan kini memasuki pertengahan tahun 2013 hingga tahun 2018,  diera kepemimpinan baru, esensi “SEHATI” memberi penegasan utama bentuk kepemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang akan dibangun. Beberapa analisis singkat memaknai sehati dalam tataran aplikasi dapat diurai sebagai berikut :
1.    Aspek bahasa, sehati memberi makna :   bersatu hati, seia sekata, yang menggambarkan keselarasan perilaku antara niat, pikiran, sikap dan perbuatan dalam hubungan antar manusia yang harmonis yang ditandai kejujuran, loyalitas, kesabaran dan kebersamaan.
2.    Aspek filosofis bersifat religius, sehati merujuk pada hati manusia, “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbutan manusia dan apabila hati itu rusak maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah,ia adalah hati”. (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Nu’man IbnBasyir ra)
3.    Aspek Akronim SEHATI : sejahtera, religius dan produktif, memberi penegasan tujuan ber-Hulu Sungai Selatan selama 2013-2018;
4.    Aspek kepemerintahan dibangun atas dasar harmonisasi, kejujuran, kebersamaan, komunikasi dan kesetaraan;
5.    Pembangunan sektor ekonomi berkontribusi pada aspek sosial sehingga pembangunan infrastruktur, pertanian, pendidikan, kesehatan dan bidang sosial lainnya diorientasikan bagi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan;
6.    Kehidupan kemasyarakatan diarahkan untuk terwujudnya sikap religiusitas public secara kondusif dan harmonis;
7.    Penumbuhan sikap produktif, jiwa wirausaha, bersaing secara sehat dengan mengedepankan keunggulan kompetitif dan komparatif, baik internal maupun eksternal;
8.    Capacity building birokrasi HSS : hirarki, loyality, legality dan professional;
Berbagai analisa tersebut dapat dirangkum dalam satu kata “MEMBANGUN HSS DENGAN HATI”, karena dengan hati maka, ketidakadilan, kezaliman, keburukan, ketimpangan, penindasan, marginalisasi, apriori, sinisme, otoritarianism, korup, dan pelanggaran hukum lainnya dieliminir bahkan diberangus dan tidak dibiarkan tumbuh, baik dihati birokrat maupun masyarakat, kondisi ini pada akhirnya melahirkan HSS yang damai dan sejahtera.
Jadi mulai sekarang marilah kita tetapkan hati, berubah untuk kebaikan, memberi yang terbaik bagi daerah dan masyarakat HSS, “mengabdilah dengan hati” dan kekuasaan yang dijalankan dengan hati dipastikan membawa kebaikan, kedamaian, keberkahan dan kesejahteraan, dan kita akan menjadi manusia yang didambakan kehadirannya, ditangisi kepergiannya, dan dirindukan setiap saat dan untuk mengenangnya pujian dan doa selalu tercurah kepada yang bersangkutan.

“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (Q.S Az-Zalzalah 7-8)

Oleh: Rakhmani, S.Sos,. M.Si

0 komentar:

Posting Komentar