Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si

Untuk
meminimalisir perilaku korup dalam pengadaan barang/jasa, pemerintah kemudian
meregulasikan pengadaan secara elektronik (e-proc) dengan Sistem Pengadaan Secara
Elektronik (SPSE) melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dimana dengan LPSE,
pengadaan lebih terbuka, transparan, tercipta persaingan usaha sehat, akuntabel
dan efesien dalam penggunaan sumber daya. Lebih dari itu, dengan LPSE melalui
e-procnya menciptakan pengadaan yang kredibel, meminimalisir penyalahgunaan
wewenang, menghilangkan suap menyuap hingga pemerasan, grativitasi dengan wajah
“ucapan terima kasih atau balas jasa”
Untuk memantapkan system tersebut, pemerintah melalui LKPP juga menciptakan system penanganan dini
tindak korupsi melalui “whystleblower system”, dimana orang dalam dapat
melaporkan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pertanyaannya
sekarang, apakah dengan LPSE sudah dapat menghapus perilaku korup
aparatur?tentu masih perlu dibuktikan, setidaknya sebagai sebuah system selalu
sang penentu adalah “the man behind the gun”, (para pokja ULP, PPK, PA/KPA, dan
para penyedia) karena itu, tindakan preventif yang sangat efektif tentu saja
harus dimulai dari perubahan mindset,
sikap dan perilaku aparatur pelaksananya, kesempatan yang tercipta dan otoritas
yang dimiliki tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,
dan sejatinya semua itu digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, dan untuk itu,
komitmen, tanggungjawab dan kerjakeras dalam melakukan pengadaan barang/jasa
tersebut didharmabaktikan untuk melayani dan
mensejahterakan masyarakat.
Untuk
menghapus budaya korup, yang senantiasa bermotif ekonomi, aspek reward and punishment tentu harus tegas dan bijak, a) aspek punishment, baik menyangkut administratif, perdata maupun pidana harus diberikan secara tegas, tanpa
pandang bulu, lebih-lebih bila dikaitkan pelaku dalam lingkaran kekuasaan dan memiliki
otoritas, bahkan bisa saja untuk memenuhi aspek
keadilan, dimana korupsi dipandang sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga perlu ada efek jera
terhadap pelakunya melalui hukuman berat hingga hukuman mati atau perampasan aset
yang dikorupsi (perlu regulasi yang jelas dan tegas untuk ini), b) aspek reward,
sebagaimana diketahui pada umumnya korupsi senantiasa bermotif ekonomi, sehingga memutus mata rantai korupsi
menyangkut “needs” tersebut melalui pemberian reward yang layak, baik secara sosial berupa : kenyamanan bekerja,
kenyamanan aspek psikososial lainnya dalam kehidupan sehari-hari (enak tidur,
tidak merasa dikejar-kejar aparat penegak hukum, dsb), maupun peningkatan
pengembangan karier aparatur secara kompetitif, yang lebih utama tentu saja
bermatra ekonomi, melalui pemberian honor,
insentif, tunjangan, termasuk diantaranya tunjangan kehormatan sebagai bentuk
apresiasi dan prestise pelaku yang komit dan konsisten melakukan pengadaan
barang/jasa pemerintah secara kredibel dan bebas korupsi. Kedua macam bentuk penghargaan tersebut diharapkan memutus godaan aparatur
pengadaan terhadap “iming-iming fulus dan kenikmatan” para
penyedia yang bermain kotor dalam pengadaan barang/jasa untuk meraih suatu
kemenangan (secara tidak
wajar dan melawan hukum). Terlepas dari itu semua, sikap hidup bersih
dan “tidak korup” tersebut sejatinya lahir dari hati, ditelaah melalui pikiran,
digerakkan oleh perilaku, diimplementasikan melalui perbuatan, masing-masing
kita hendaknya memulai dari sekarang, Bagaimana dengan anda?semoga.
0 komentar:
Posting Komentar