"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Rabu, 01 Agustus 2012

Korupsi, E-proc dan Tunjangan Kehormatan


Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si 

Koran, tv atau media lainnya, tiap hari, memberitakan banyak birokrak/aparatur, politisi dan kalangan pengusaha tersandung kasus korupsi, khususnya berkaitan dengan pengadaan barang/jasa, dipidana dan masuk bui, tapi anehnya, korupsi tidak berhenti malah makin menjadi-jadi. Mengapa? Secara argumentatif setidaknya disebabkan : a) rendahnya hukuman bagi para koruptor (lebih rendah dari hukuman teroris, narkoba dan pembunuhan berencana) sehingga tidak ada efek jera bagi para pelakunya akibatnya korupsi terus berulang, diperparah lagi dengan sistem hukum (yang masih memiliki celah untuk dimanfaatkan) dan alat negara yang menjalankan hukum itu sendiri terindikasi “tidak bersih” dan turut bermain dalam melacurkan hukum untuk kepentingan pribadi dan golongannya (kasus mafia hukum dan jaksa, hakim serta polisi nakal), b) faktor materialisme dan sikap hedonis para pelaku, sikap korup merupakan upaya untuk menunjang eksistensi keglamoran hidup di tengah kaum borjuis kota yang memabukkan (selalu saja ada tuntutan kebutuhan/needs diluar akal sehat untuk mencukupinya), c) prestise, meminjam teori maslow “tingkat kebutuhan manusia”, setidaknya sikap korup telah menjadi hobi dan prestise untuk memuaskan syahwat akan kepemilikan otoritas dan kewenangan, sebagai “keakuan” karena pada akhirnya semuanya dapat diselesaikan “secara adat” karena akulah hukum sebenarnya.
Untuk meminimalisir perilaku korup dalam pengadaan barang/jasa, pemerintah kemudian meregulasikan pengadaan secara elektronik (e-proc) dengan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dimana dengan LPSE, pengadaan lebih terbuka, transparan, tercipta persaingan usaha sehat, akuntabel dan efesien dalam penggunaan sumber daya. Lebih dari itu, dengan LPSE melalui e-procnya menciptakan pengadaan yang kredibel, meminimalisir penyalahgunaan wewenang, menghilangkan suap menyuap hingga pemerasan, grativitasi dengan wajah “ucapan terima kasih atau balas jasa”
Untuk memantapkan system tersebut, pemerintah melalui LKPP juga menciptakan system penanganan dini tindak korupsi melalui “whystleblower system”, dimana orang dalam dapat melaporkan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan LPSE sudah dapat menghapus perilaku korup aparatur?tentu masih perlu dibuktikan, setidaknya sebagai sebuah system selalu sang penentu adalah “the man behind the gun”, (para pokja ULP, PPK, PA/KPA, dan para penyedia) karena itu, tindakan preventif yang sangat efektif tentu saja harus dimulai dari perubahan mindset, sikap dan perilaku aparatur pelaksananya, kesempatan yang tercipta dan otoritas yang dimiliki tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, dan sejatinya semua itu digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, dan untuk itu, komitmen, tanggungjawab dan kerjakeras dalam melakukan pengadaan barang/jasa tersebut didharmabaktikan untuk melayani dan mensejahterakan masyarakat.
Untuk menghapus budaya korup, yang senantiasa bermotif ekonomi, aspek reward and punishment tentu harus tegas dan bijak, a) aspek punishment, baik menyangkut administratif, perdata maupun pidana harus diberikan secara tegas, tanpa pandang bulu, lebih-lebih bila dikaitkan pelaku dalam lingkaran kekuasaan dan memiliki otoritas, bahkan bisa saja untuk memenuhi aspek keadilan, dimana korupsi dipandang sebagai  kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga perlu ada efek jera terhadap pelakunya melalui hukuman berat hingga hukuman mati atau perampasan aset yang dikorupsi (perlu regulasi yang jelas dan tegas untuk ini), b) aspek reward, sebagaimana diketahui pada umumnya korupsi senantiasa bermotif  ekonomi, sehingga memutus mata rantai korupsi menyangkut “needs” tersebut melalui pemberian reward yang layak, baik secara sosial berupa : kenyamanan bekerja, kenyamanan aspek psikososial lainnya dalam kehidupan sehari-hari (enak tidur, tidak merasa dikejar-kejar aparat penegak hukum, dsb), maupun peningkatan pengembangan karier aparatur secara kompetitif, yang lebih utama tentu saja bermatra ekonomi, melalui pemberian honor, insentif, tunjangan, termasuk diantaranya tunjangan kehormatan sebagai bentuk apresiasi dan prestise pelaku yang komit dan konsisten melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah secara kredibel dan bebas korupsi. Kedua macam bentuk penghargaan tersebut diharapkan memutus godaan aparatur pengadaan terhadap  “iming-iming fulus dan kenikmatan” para penyedia yang bermain kotor dalam pengadaan barang/jasa untuk meraih suatu kemenangan (secara tidak wajar dan melawan hukum). Terlepas dari itu semua, sikap hidup bersih dan “tidak korup” tersebut sejatinya lahir dari hati, ditelaah melalui pikiran, digerakkan oleh perilaku, diimplementasikan melalui perbuatan, masing-masing kita hendaknya memulai dari sekarang, Bagaimana dengan anda?semoga.

0 komentar:

Posting Komentar