"Mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui reformasi pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel"


Launching Layanan Pengadaan Secara Elektronik

Bupati HSS pada acara Launching LPSE di Pendopo Kabupaten tanggal 7 Nopember 2011 , dihadiri oleh perwakilan dari LKPP Direktur Monev LKPP Ir. Riad Horem, Dipl. HE , wakil Ketua DPRD, Unsur Muspida, Tokoh Masyarakat, Gapensi dan semua Stakeholder.

Selasa, 24 Juli 2012

SPSE Yang Masih Diterima Setengah Hati

Oleh : Samsul Irfan S.Sos., M.Eng



Dengan penerapan sistem pengadaan secara elektronik di Kab. HSS sudah nampak jumlah penghematan dana daerah yang berhasil dilakukan. Para peserta lelang berlomba-lomba untuk menawarkan barang/jasa dengan kualitas yang dijanjikannya dan dengan harga yang lebih kompetitif. Hal ini sangat berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan pada masa lalu yang dilakukan secara manual, dimana masing-masing penyedia barang/jasa berusaha melakukan “arisan”, “baatur” atau sebisa mungkin bekerjasama dengan pihak yang menentukan dalam proses pengadaan barang/jasa (seperti Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen maupun dengan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan)  sehingga uang daerah yang digunakan untuk mengadakan barang/jasa menjadi “bengkak” dari harga yang semestinya karena digunakan untuk memperlancar “kongkalikong” yang mereka lakukan itu.
Dari sisi kepentingan pemerintah dan masyarakat, penerapan sistem pengadaan secara elektronik benar-benar menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan, baik dari segi penghematan dana, kualitas pekerjaan, waktu yang lebih cepat, efisiensi tempat dan akuntabilitas yang semakin baik. Namun hal ini membuat beberapa pihak yang selama ini sering mendapatkan keuntungan dari lelang yang dilakukan melalui kongkalikong menjadi kebakaran jenggot. Pihak rekanan “hitam” mulai banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan lelang dan para birokrat-birokrat yang sering mendapatkan keuntungan dari proses kongkalikong itupun banyak yang kehilangan “pemasukan untuk kantong pribadi”. 
Karena merasa kenyamanannya terganggu maka pihak-pihak di atas banyak yang berusaha melakukan perang urat syaraf dan penyebarkan opini yang kurang tepat untuk menciptakan persepsi di masyarakat bahwa penggunaan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik membawa dampak yang buruk. Beberapa “sas-sus” diantaranya adalah bahwa penggunaan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik tidak transparan, memutus tali silaturahmi, menurunkan kualitas hasil pekerjaan, mengamankan kepentingan pemerintah agar tidak banyak diprotes oleh masyarakat, rumit dan menyulitkan.
Mari kita urai secara singkat, pertama, penggunaan lelang elektronik tidak transparan, padahal cukup dengan mengetik alamat situs LPSE HSS dialamat : lpse.hulusungaiselatankab.go.id, siapapun dan dimanapun asalkan dia terhubung dengan jaringan internet maka dia bisa tahu, terlibat dan mengawasi proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara elektronik, mulai pengumuman sampai penetapan pemenang, dan bahkan isi kontrak atau rangkuman kontraknya pun bisa mereka lihat.
Kedua, sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik memutus tali silaturahmi, padahal dengan sistem ini melalui LPSE layanan, bantuan, pendampingan, tanya jawab dan koordinasi dengan semua pihak yang terlibat dalam lelang secara elektronik ini baik secara langsung maupun melalui telepon ataupun media komunikasi lainnya semuanya difasilitasi. di website LPSE HSS pun tersedia forum tanya jawab yang bisa digunakan untuk berkomunikasi antara semua pihak yang masuk ke website ini. Dulu, silaturahmi yang terjadi hanyalah kamuflase dan disalahgunakan sebagai media “bekerjasama secara negative” dalam pengadaan barang/jasa. 
Ketiga, menurunkan kualitas pekerjaan karena para penawar berlomba-lomba menurunkan harga supaya menjadi penawar terendah sehingga mengakibatkan penurunan kualitas pekerjaan. Sistem SPSE adalah proses pemilihan penyedia barang/jasa, sedangkan untuk memastikan bahwa kualitas pekerjaan itu benar-benar berkualitas dapat dilihat dari spesifikasi teknis yang ditawarkan penyedia yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan, bahkan Pokja dapat mempertanyakan, mengklarifikasi dan mengambil langkah selanjutnya kalau harga yang ditawarkan kurang dari 80% dari HPS, belum sampai disitu, jaminan kualitas pekerjaan juga dapat dijaga PPK pada saat pelaksanaan kontrak, termasuk menggunakan jasa konsultan pengawasan, sebelum diserahterimakan wajib dilakukan pemeriksaan, termasuk pengujian oleh PPHP. 
Keempat, hanya mengamankan kepentingan pemerintah agar tidak banyak diprotes, padahal dalam SPSE telah diadopsi media sanggah, sanggah banding dan pengaduan, ada akibat administrasi, perdana dan pidana bila terjadi pelanggaran. Kelima, lebih rumit dan menyulitkan. karena keharusan mahir menggunakan komputer dan internet, SPSE menjadi media bagi pengguna untuk melek TI dan mendukung program e-goverment, kalaupun tidak bisa, LPSE memfasilitasi diklat SPSE kepada semua pengguna. 
Singkat kata, masih belum sepenuhnya diterima pengadaan secara elektronik lebih disebabkan karena a) ketidaktahuan, solusi yang perlu dijalankan optimalisasi sosialisasi, dengan berbagai media, akses dan kesempatan, b) penolakan karena status quo dan kemapanan, solusinya perubahan mindset, perilaku dan sikap melalui penyadaran, regulasi, reward and punishment, sehingga tercipta komitmen, tanggungjawab dan kerja keras aparatur melakukan pengadaan barang/jasa secara kredibel di Lingkup Pemkab. HSS.

Zona Integritas, bebas korupsi !

Oleh : Rakhmani, S.Sos., M.Si


LKPP menyebutkan kebocoran keuangan negara yang besarnya melebihi 50%  didominasi oleh pengadaan barang/jasa. Fakta menunjukkan kasus-kasus yang muncul kepermukaan akhir-akhir ini, dimana mendudukkan para pejabat negara dan birokrat sebagai pesakitan “rumah prodeo” adalah disebabkan karena kegiatan atau ketersangkutan yang bersangkutan dengan pengadaan barang/jasa. Hal ini tentu mengkhawatirkan sekaligus memprihatinkan. Khawatir, sebab ternyata membawa phobia baru bagi kalangan birokrat, sehingga ketika ditunjuk untuk mengikuti diklat pengadaan dan ujian sertifikasi, “sengaja” tidak mau lulus, kalau lulus takut ditunjuk sebagai PPK atau Pokja ULP, mengemban amanah tersebut sama saja menjejakkan kaki sebelah di penjara, katanya. Prihatin, jelas kita juga perlu berduka dan berempati, terhadap mereka yang tersangkut, yang karena “terpaksa dan dipaksa” oleh sistem dan keadaan, harus mendekam dalam dinginnya bui. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut dapat menimbulkan krisis SDM pengadaan, ah...ternyata tidak juga, yang tersangkut kasus itu lebih karena mereka tidak “lurus” dalam pengadaan, karena tergoda “kenikmatan dan kemapanan”.  Mungkin makna “lurus” inilah yang perlu diluruskan. Setidaknya harus kita mulai dengan niat, toh penyimpangan dalam pengadaan yang berujung pada tindakan KKN, yang utama karena niat plus kesempatan. Kalau pintu masuknya telah kita tutup rapat-rapat, kesempatan yang datang, tidak membuat kita khilaf. Untuk meluruskan niat, tentu harus dimulai dari diri sendiri, pada detik ini, dan pada kegiatan ini, artinya, kita perlu menumbuhkan kesadaran yang berujung pada komitment. Kesadaran hanya dapat terbentuk apabila kita memiliki 3 (tiga) modal utama, yaitu hati (keyakinan sebagai seorang religius, kita bertuhan, setiap apa yang kita lakukan pasti diminta pertanggungjawaban oleh-Nya, Dia melihat walau amplop itu disembunyikan dibawah meja, Dia tahu apa yang tersembunyi bahkan dari hatimu sekalipun), moral (menyangkut kepantasan, kepatutan dan etika) dan logika (reward and punishment, aksi – reaksi, sebab – akibat, karenanya pertimbangan rasio menjadi modal utama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Penekanan niat ini secara kelembagaan, terstuktur maupun fungsional kemudian diejawantahkan dalam pakta integritas, yang diikrarkan setiap aparatur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 
Pengucapan ikrar menjadi simbolisme penegasan pengakuan akan kesadaran penuh, baik kepada negara maupun tuhan, dan pelanggarannya adalah personal, struktural, legal dan sosial. Kesemuanya senantiasa membawa konsekuensi, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, satuan maupun terakumulasi, sebagai dosa terhadap masyarakat, daerah, negara dan tuhan.
Pengakuan akan komitmen personal bagi masing-masing aparatur, yang secara kolektif kemudian menjadi pengakuan komunal sebagai suatu bagian/unit/kantor atau apapun namanya, melahirkan komitmen bersama secara tunggal pada suatu kewilayahan, baik dalam skop kecil, tidak saja dalam persfektif unit kerja bahkan meluas di seluruh Kab. Hulu Sungai Selatan.  
Kesadaran dan komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku,  melahirkan tanggung jawab, melakukan yang terbaik bagi daerah dan masyarakat dimanapun ditugaskan. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan kondisi suatu komunitas/bagian/unit/kantor teraktualisasi sebagai zona integritas, zona aparatur yang secara sistemik dan sosial sebagai bagian “kekitaan” yang integral, legal, melayani, dan akuntabel, dan komunitas/bagian/unit/kantor yang menjadi zona-zona integritas otonom yang bersinergi dan saling menguatkan, pada akhirnya mampu mewujudkan kawasan bebas korupsi, khususnya di Kab. Hulu Sungai Selatan maupun negeri bernama Indonesia. Dengan kondisi tersebut, patutlah kita bertepuk dada, bangga sebagai daerah dan bangsa yang mandiri, unggul dan religius, karena faktanya adalah realita. Semoga.

Pakta Integritas dan Pengadaan Yang Kredibel

Oleh : Rakhmani, S.Sos.,M.Si

Menyimak dan menelaah kata dan kalimat sebagaimana tertuang dalam pakta integritas, sebagaimana diikrarkan dan ditandatangani seluruh pejabat hingga ke level staf di Lingkup Pemerintah Kab. Hulu Sungai Selatan, dan menghubungkannya dengan pelaksanaan pelayanan pengadaan sebagai salah satu tugas dan fungsi aparatur, memberi pemahaman, semangat dan kesadaran yang lebih mantap bagi aparatur, agar dalam pelaksanaan tugas, khususnya dalam melayani proses pengadaan harus professional, taat hukum, jujur, obyektif, dan akuntabel, lebih-lebih saat ini layanan pengadaan telah memasuki era baru, dengan penggunaan teknologi informasi, sehingga pengadaan dapat berlangsung secara transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, bahkan mampu berperan dalam efesiensi dan efektivitas penggunaan dana APBN/APBD, (Data LKPP menunjukkan kisaran efesiensi anggaran dengan lelang elektronik mencapai 10-15%).
Dengan pengadaan secara elektronik melalui LPSE, para pihak yang terlibat dalam pengadaan dimudahkan dan dilindungi secara hukum, para pihak sesuai tugas dan kewenangannya bertanggungjawab dalam wilayah yuridiksinya masing-masing.
Dalam tataran terkecil, dengan tidak bertemu muka, misalnya antara pokja ULP dan penyedia, maka kemungkinan untuk terjadinya “main mata” dalam pengadaan dapat diminimalisir, dampak lebih jauh, isu suap menyuap, premanisme dalam pengadaan, pemerasan, berkolusi untuk memenangkan salah satu penyedia, karena terjadinya perikatan illegal antara Pokja ULP dan penyedia dapat diminimalisir.
Dampak lebih lanjut, terpilihnya penyedia “abal-abal” yang cuma sekedar jadi makelar pengadaan dapat dihilangkan sehingga kerugian keuangan negara/daerah dapat dihindari.
Contoh lain, misalnya PA/KPA atau PPK tidak diperkenankan turut bermain dalam satu paket pengadaan, sebagaimana kita ketahui, secara legal formal tidak ada dasar hukum yang membenarkan tindakan tersebut, karena akan terjadi “conflict of interest”.
Hal lain, Para PA yang notabene merupakan top manajemen di level SKPD harus memberi contoh kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, yang kemudian diteruskan hingga ke level middle manajemen dan lower manajemen hingga staf. Para PA/KPA, pokja ULP, PPK, PPHP, auditor, penyedia melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pengadaan, mengacu sebagaimana diatur dalam Perpres 54/2010, tidak dibenarkan mengatur, mempengaruhi, memaksa bahkan mengintimidasi proses pengadaan, bahkan top manajemen yang lebih diatasnya memberikan arahan dan bimbingan agar dalam pelaksanaan pengadaan tetap berpegang pada ketentuan yang berlaku, dalam persfektif ini maka kerjasama dan kebersamaan harus dibina dan dikembangkan. Bahkan terhadap penyimpangan yang terjadi semua pihak memiliki kewajiban untuk melaporkan kepada pihak-pihak terkait, dan apabila terbukti atas pelanggaran yang dilakukan siapapun pelakunya, harus mempertanggungjawabkan semua tindakan pelanggaran dimaksud. Bukankah setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Dengan ikrar pakta integritas, ditandatangani dan kemudian diaplikasikan dalam pelaksanaan tugas, khususnya dalam pelayanan pengadaan barang/jasa, pada akhirnya akan mewujudkan pengadaan yang kredibel, dampak lebih jauh, hal ini memberi andil bagi terwujudnya clean & good governance di Lingkup Pemerintah Kab. HSS, terwujudnya Hulu Sungai Selatan yang bersih, Hulu Sungai Selatan yang bebas korupsi dan Hulu Sungai Selatan yang bermartabat dan sejahtera.